Ilustrasi-fatwa-MUI-istimewaNet8f0ce6b2db3d7613.md

Oleh: Moh. Nadi*

Dalam menghadapi pandemi Covid-19, tidak hanya para ahli medis yang ikut berjibaku, tetapi juga para ahli agama. Sebab, ia juga berdampak terhadap beberapa aktivitas keagamaan, seperti salat Jum’at. Pemerintah Indonesia melarang semua aktivitas yang melibatkan massa, tak terkecuali salat Jum’at. Menyikapi hal tersebut, lembaga-lembaga keagamaan dan para ulama mengeluarkan fatwa yang mendukung langkah pemerintah tersebut, yaitu fatwa ketidakbolehan melakukan salat Jum’at di daerah zona merah.

Namun demikian, tidak sedikit masyarakat yang mempermasalahkan fatwa tersebut, banyak yang tidak mengindahkannya. Mereka beranggapan, tidak seharunya salat Jum’at ditiadakan cuma gegara takut Covid-19. Banyak yang mengutip hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa orang yang ada dalam masjid tidak akan terkena penyakit. Pendek kata, banyak masyarakat yang tidak sreg dengan fatwa tersebut dan menganggapnya meresahkan sebagaimana Covid-19 itu sendiri.

Seraca etimologis, fatwa berarti menjawab pertanyaan dan menjelaskan (al-tabyîn wa al-‘ibânah). Seceara termenologis, ulama berbeda-beda di dalam menarasikannya.

Imam Ibnu Hamdan al-Hanbali dalam kitabnya, Shifat al-Fatwâ (124), menyebutkan:

الإخبار بحكم الله تعالى عن دليل شرعي

“Pengabaran hukum Allah swt yang diperoleh dari sumber syariat.”

Imam Ibrahim al-Laqani al-Maliki dalam kitabnya, Manâru-Ushûl al-Fatwâ (231), menyebutkan:

الإخبار عن الحكم على غير وجه الإلزام

“Pengabaran hukum tanpa mewajibkan.”

Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam kitabnya, al-Futyâ wa Manâhij al-Iftâ’ (9), menuturkan:

إخبار بحكم الله تعالى عن دليل شرعي لمن سأل عنه في أمر نازل

“Pengabaran hukum Allah swt yang diperoleh dari sumber syariat pada orang yang bertanya tentang suatu kasus yang tengah terjadi.”

Pengertin fatwa dari para pakar di atas saling lengkap melengkapi. Jika disimpulkan, fatwa berarti, “Pengabaran hukum Allah swt yang bersumber dari syariat pada orang yang bertanya tentang kasus yang terjadi tanpa mewajibkan.”

Penegasan yang disampaikan Imam al-Laqani sangat penting bahwa fatwa tidak bersifat ‘ilzâm (mewajibkan). Dalam arti, seorang mufti tidak berhak mewajibkan kepada orang yang bertanya (mustafti) untuk mengikuti fatwanya. Seorang mufti hanya berkewajiban menyampaikan hukum pada mustafti. Sebatas itu saja. Fatwa dapat bersifat ‘ilzâm bila diadopsi pemerintah menjadi peraturan perundang-undangan atau mufti memutuskan dalam kapasitasnya sebagai hakim.

Penekanan al-Asyqar juga sangat penting bahwa fatwa hanya tertuju pada orang yang bertanya. Hal itu sesuai dengan sifat fatwa sendiri yang terbatas, di tambah situasi dan kondisi setiap orang tidak selalu sama. Kalau kita baca kitab-kitab tarîkh al-tasyrî’ (sejarah hukum Islam), kita akan banyak menjumpai para shahabat memberikan fatwa berbeda terhadap masalah yang sama tetapi beda penanya, seperti yang pernah dilakukan Ibnu Abbas. Rasulullah saw pun demikian. Memberi jawaban berbeda terhadap pertanyaan yang sama oleh karena yang bertanya adalah orang yang berbeda.

Kedudukan Fatwa dan Sikap Ulama Salaf

Hampir semua ulama menyatakan bahwa kedudukan fatwa sangat dilematis. Satu sisi, fatwa mengandung keutamaan dan dampak positif yang sangat besar bagi umat, tetapi peluang terjatuh ke jurang kesalahan yang berkibat fatal juga sama besarnya, di sisi lain.

Tanggung jawab seorang mufti sangat berat. Ia merupakan juru bicara (muwaqqi’) Allah swt. Menurut Imam Syathibi, kedudukan mufti sejajar dengan para nabi. Oleh karena itu, apa yang difatwakan harus benar-benar sesuai dengan syariat. Halalkan apa yang dihalalkan dan haramkan apa yang diharamkan Allah swt. Jika fatwa yang diberikan merupakan hasil ijtihad, sampaikan sebagai hasil ijtihad, bukan hukum langsung dari Allah swt.

Selain itu, eksistensi fatwa sangan dibutuhkan –ada yang mengatakan, pada jarak qasar tidak boleh kosong dari seorang mufti– namun tidak mudah menjadi seorang mufti. Ia mesti benar-benar mempunyai kapasitas mumpuni dalam aspek spritualitas (al-diyânah) dan akademis (al-‘ilmiyah). Hal itu pula yang turut membikin kedudukan fatwa bertambah dilematis. Ulama salaf pun berbeda sikap mengenai fatwa. Mayoritas sangat berhati-hati dan berusaha sebisa mungking menghindari.

Imam Nawawi dalam pengantar kitab al-Majmû’ menuturkan beberapa riwayat tentang sikap ulama salaf, di antaranya adalah sebagaimana berikut:

عن عبد الرحمن ابن أبي ليلى قال: أدركت عشرين ومئة من الأنصار من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يسأل احدهم عن المسألة فيردها هذا إلى هذا وهذا إلى هذا حتى ترجع الى الأول

Dari Abdurrahman ibn Abi Laila, dia berkata: “Aku mendapati seratus dua puluh shahabat anshar, ketika salah satu dari mereka ditanya tentang suatu masalah maka ia akan mengirimkan kepada shahabat lain dan shahabat yang lain melakukan hal serupa hingga kembali lagi pada shahabat pertama tadi.”

عن ابن مسعود وابن عباس رضي الله عنهم: من أفتى في كل ما يسأل فهو مجنون

Dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, “Orang yang berfatwa dalam setiap kasus yang ditanyakan maka dia orang gila.”

عن الشافعي وقد سئل عن مسألة فلم يجب فقيل له فقال حتى أدري أن الفضل في السكوت أو في الجواب

Dari Imam Syafi’i, beliau pernah ditanya tetapi tidak langsung menjawab. Ketika ditanyakan alasannya, Imam Syafi’i menjawab: “Sampai aku tahu mana yang baik, diam atau menjawab.”

عن الأثرم سمعت أحمد بن حنبل يكثر أي يقول لا أدري وذلك فيما عرف الأقاويل فيه

Dari al-Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad sering menjawab tidak tahu, meskipun mengetahuinya.”

عن الهيثم بن جميل شهدت مالكا سئل عن ثمان وأربعين مسألة فقال في ثنتين وثلاثين منها: لاأدري

Dari Haitsam bin Jamil, “Aku menyaksikan Imam Malik ditanya empat puluh delepan pertanyaan dan terhadap tiga puluh dua pernyataan beliau menjawab tidak tahu.”

وقال ابو حنيفة: لو لا الفرق من الله تعالى أن يضيع العلم ما أفتيت يكون لهم المهنأ وعلي الوزر

Imam Abu Hanifah berkata, “Andai tidak khawatir Allah swt akan melenyepkan ilmu, aku tidak akan pernah memberi fatwa; mereka nyaman, beban bagiku.”

Atsar ulama di atas menekankan kepada kita supaya berhati-hati di dalam mengeluarkan fatwa, bukan untuk menakut-nakuti agar tidak berfatwa. Fatwa, sebagaimana telah disinggung di muka, akan selalu menjadi kebutuhan umat Islam. Terlebih, nas-nas syariat terbatas, sedangkan persoalan umat tidak terbatas.

Standar Fatwa dalam Islam

Pertama, fatwa dimaksud harus dikeluarkan oleh orang yang ahli. Orang yang tidak ahli, haram dimintai dan memberi fatwa. Rasulullah saw menegaskan:

من أفتى بغير علم كان إثمه على من أفتاه

“Orang yang memberi fatwa tanpa didasari ilmu maka ia yang menaggung dosanya.” (HR Hakim).

Keahlian (kapasitas) yang harus dimiliki seorang mufti mencakup keahlian spritualitas dan akademis. Keahlian spritualitas melingkupi, 1) harus muslim, sebab seorang mufti merupakan jubir (juru bicara) Allah swt. Oleh karena itu, tidak mungkin disampaikan orang kafir, meskipun ia mempunyai kapasitas secara akademik; 2) harus balig dan berakal, bukan anak kecil dan orang gila; 3) harus adil dan bertakwa. Seorang mufti harus benar-benar dapat dipercaya, karenanya ia mesti selalu menjaga nama baik dan tingkah lakunya (murû’ah); dan 4) tidak harus laki-laki, perempuan juga dapat mengeluarkan fatwa, yang penting memiliki kapasitas (Imam Nawawi: 104).

Keahlian akademis dimaksud adalah memiliki kemampuan berijtihad sebagaimana seorang mujtahid. Ini merupakan syarat paling utama bagi seorang mufti. Oleh karena itu, ia harus mengetahui dan menguasai sumber-sumber hukum syariat, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, ijmak, dan lain sebagainya.

Sama halnya dengan mujtahid, mufti juga memiliki dua tingkatan, 1) mufti mustaqil dan 2) mufti muntasib (Ibnu Shalah, Adâb al-Mufti: 86). Mufti muntasib mempunyai beberapa tingkatan lagi (lebih lengkap, sila rujuk kitab-kitab ushul fikih).

Saat ini sudah hampir tidak ditemukan seorang mufti yang setingkat mujtahid, baik mustaqil maupun muntasib. Para ulama mengakui bahwa kebanyakan mufti yang ada pada zaman ini merupakan mufti darurat, sebatas menukil pendapat-pendapat para mujtahid yang tertuang dalam kitab-kitab mereka. Meskipun hanya menukil dan menceritakan pendapat ulama (al-naql wa al-hikâyah), tetapi tetap disebut fatwa –karena darurat. Fatwa Manjlis Ulama Indonesia (MUI) dan keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdhatul Ulama (LBM NU) masuk katagori ini.

Kedua, fatwa dimaksud tidak menyalahi nas-nas yang bersifat definitif (qath’i). Jika bertentangan dengan salah satu nas yang bersifat definitif maka secara otomatis fatwa tersebut tertolak.

Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip Imam al-Baihaqi dalam kitab Manâqib asy-Syâfi’i (2/472), menegaskan:

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلته

“Jika kalian menemukan dalam kitabku yang menyalahi sunnah Rasulullah saw maka ikutilah sunnah Rasulullah saw dan tinggalkan pendapatku.”

Ketiga, fatwa dimaksud harus didasarkan pada kitab-kitab yang terkenal (masyhur). Imam Nawawi menyatakan bahwa fatwa dengan cara menukil pendapat ulama dari kitab-kitab mereka harus berdasarkan pada kitab-kitab yang terpercaya. Pun, tidak cukup hanya berdasarkan pada satu atau dua kitab. Untuk mengetahui pendapat yang paling kuat (rajih) butuh pada banyak referensi. Oleh karena itu, harus teliti dan mengkaji pelbagai kitab yang ada, lebih-lebih jika lintas mazhab.

Keempat, fatwa dimaksud harus sesuai dengan realitas keadaan mustafti. Oleh karena itu, seorang mufti harus mengetahui segala hal yang berhubungan dengan mustafti. Situasi dan kondisi yang berbeda, meniscayakan hukum yang berbeda pula.

Imam al-Qarafi dalam kitabnya, al-Ihkâm fi Tamyîz al-Fatâwa min al-Ahkâm (249), menyebutkan:

وهذا أمر متعين واجب لايختلف فيه العلماء وأن العادتين متى كانتا في بلدين ليستا سواء أن حكمهما ليس سواء

“Ini merupakan keharusan yang telah disepakati ulama. Dua tradisi berbeda dalam dua Negara yang tidak sama, hukum keduanya tidaklah sama.”

Alhasil, jika fatwa dimaksud sudah sesuai dengan prosedur dan standar (dhâbith) yang ada maka tidak ada alasan menolaknya, meskipun hati tidak sreg. Tidak ada ketentuan fatwa harus mengikuti selera hati. Tanggun jawab seorang mufti –sebagai jubir Allah swt– hanya menyampaikan hukum sesuai prosedur dan standar yang ada. Tidak lebih.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, dalam kitabnya, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (286), menegaskan:

فأما ما كان مع المفتي به دليل شرعي فالواجب على المستفتي الرجوع اليه وإن لم ينشرح له صدره وهذا كالرخصة الشرعية مثل الفطر في السفر والمرض وقصر الصلاة في السفر ونحو ذلك مما لا تنشرح به صدور كثير من الجهال فهذا لاعبرة به

“Jika fatwa mufti berdasarkan dalil syariat maka mustafti mesti menerimanya meskipun tidak sreg di hati. Ini sama halnya dengan keringanan (rukhshah) yang diberikan syariat, seperti kebolehan berhenti puasa saat di perjalanan atau sedang sakit; qasar salat saat bepergian; dan lain semacamnya, yang tidak mengenakkan hati sebagian besar orang-orang bodoh. Hal semacam ini (tidak sreg) tidak dianggap sama sekali.”

*Mahasiswa Hukum Islam UII dan Ketua PC Hmass Yogyakarta

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan