images (6)

Oleh: Moh. Nadi*

Di lini masa twitter, nitizen sempat ramai membahas soal apakah seorang istri harus bisa masak atau tidak. Musababnya, ada yang ngetwit memprotes perempuan yang tidak bisa memasak. Menurutnya, perempuan tidak bisa memasak tidak layak dijadikan sebagai pendapmping hidup. Sebenarnya, bahasan soal masak-memasak merupakan hal biasa belaka, tetapi sering menjadi kontroversi.

Galibnya, yang menganggap masalah ini amat serius adalah mereka yang menyebut dirinya sebagai pemebela kesetaraan dan keadilan gender. Doktrin kesetaraan gender lahir di Barat dan sampai saat ini, perempuan dan laki-laki di Barat, tetap tidak pernah setara dalam pelbagai aspek seperti yang mereka kampanyekan. Sialnya, sebagian umat Islam yang masih polos amat mengelu-elukan ide kesetaraan gender tersebut.

Laki-laki dan perempuan sampai kapan pun tidak akan pernah setara dalam pelbagai aspek. Karena memang sudah dari sononya diciptakan berbeda. Dan hal itu memiliki banyak hikmah dan dampak positif bagi kehidupan manusia, bukan asal-asalan. Kita saja tidak sadar.

Akan tetapi, harus diakui juga bahwa tidak sedikit umat Islam yang salah memahami tentang kewajiban (tanggung jawab) serta posisi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Banyak yang memahami bahwa laki-laki adalah raja (‘amīr) dalam rumah tangga hingga perintahnya mutlak harus dipatuhi dan istri adalah budak yang mesti patuh. Nah, ini tidak benar. Posisi laki-laki dalam rumah tangga hanya sebagai seorang pemimpin (‘imām) yang keputusannya tidak mutlak dan mesti berdasar kemaslahatan.

Imam dalam rumah tangga sama dengan imam dalam salat. Jika dia salah maka makmum berhak dan harus mengingatkan. Dan seorang imam harus mendengarkan makmumnya. Makmum hanya wajib mengikuti imam jika ia benar. Jika salah, maka makmum boleh mufāraqah (meninggalkan imam). Antara imam dan makmum seimbang dan saling bersinergi demi mencapai tujuan yang sama.

Dalam rumah tangga, suami dan istri sama-sama memiliki hak dan kewajiban (tanggung jawab). Allah memberikan kewajiban tersebut sesuai dengan fitrah dan tujuan Islam mensyariatkan pernikahan. Kewajiban dasar seorang suami adalah mencari dan memberi nafkah. Hal itu dikarenakan secara fitrah suami yang layak menerima dan dibebani kewajiban tersebut. Kewajiban dasar istri adalah melayani suami dan mendidik anak-anaknya. Ini juga karena lebih sesuai dengan fitrah perempuan dan tujuan keluarga dalam Islam.

Istri tidak ada kewajiban mencari nafkah dan bekerja di luar rumah. Jika suami mampu dan dapat memenuhi kebutuhannya maka lebih baik istri tidak bekerja, apalagi di luar rumah. Sebab, hal itu akan mengakibatkan tidak sempurna dan terbengkalainya tugas utama seorang istri.

Namun demikian, andaikan istri ikut bekerja juga tidak masalah asalkan mengikuti protokol syariat. Yang masalah adalah suami leyeh-leyeh, sedangkan istri kerja keras banting tulang.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum istri memasak atau membantu pekerjaan suaminya. Menurut mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hananilah), istri tidak berkewajiban membantu suaminya. Hanya saja, menurut mereka, yang lebih baik istri tetap membantu suaminya bila hal itu sudah menjadi adat. Sementara menurut Mazhab Hanafi, seorang istri wajib membantu suaminya. Kewajiban ini berdasarkan agama bukan sebagai ganti nafkah yang diberikan suami.

Dalam kitab al-Mausū’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah (19/44) disebutkan:

لا خلاف بين الفقهاء في أن الزوجة يجوز لها أن تخدم زوجها في البيت ، سواء أكانت ممن تخدم نفسها أو ممن لا تخدم نفسها إلا أنهم اختلفوا في وجوب هذه الخدمة
فذهب الجمهور ( الشافعية والحنابلة وبعض المالكية ) إلى أن خدمة الزوج لا تجب عليها لكن الأولى لها فعل ما جرت العادة به وذهب الحنفية إلى وجوب خدمة المرأة لزوجها ديانةً لا قضاءً ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قَسَّم الأعمال بين علي وفاطمة رضي الله عنهما ، فجعل عمل الداخل على فاطمة ، وعمل الخارج على علي ، ولهذا فلا يجوز للزوجة – عندهم – أن تأخذ من زوجها أجرا من أجل خدمتها له

“Sama sekali tidak ada perbedaan pendapat antara ahli fikih tentang kebolehan perempuan membantu suaminya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang apakah istri wajib membantu suami atau tidak. Menurut mayoritas fuqaha (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah), istri tidak wajib membantu suaminya. Akan tetapi, lebih baik membantu apabila memang sudah menjadi tradisi istri membantu suami.

“Menurut Mazhab Hanafi, istri wajib membantu suaminya. Sebab, Rasulullah saw telah membagi tugas Siti Fatimah dan Sayidina Ali. Siti Fatimah yang mengurusi rumah dan Sayidina Ali yang bekerja di luar rumah. Oleh karena itu, menurut mereka, istri tidak boleh meminta upah sebab membantu suaminya.”

Jika kita mengacu pada pendapat mayoritas fuqaha maka memasak bukan tanggung jawab istri. Akan tetapi, istri bisa memasak dan menyiapkan makanan untuk suami adalah sangat baik. Bahkan, jika ikhlas, akan mendapatkan pahala yang amat besar. Istri memasak bukan berarti ia babu. Ia memasak sebagai bentuk khidmah kepada suami sehingga bernilai ibadah. Membantu meringankan beban suami, tentu pahalanya amat besar. Rumah tangga juga akan menjadi seimbang dan harmonis.

Namun demikian, karena bukan tanggung jawab istri, suami tidak berhak menindas dan memaksa istri memasak. Apalagi sampai dianggap membangkang (nusyūz) jika enggan memasak. Yang terbaik adalah memintanya dengan mesra dan penuh cinta. Katakan untuk membantu meringankan bebannya.

Akan tetapi, meskipun seorang istri dengan ikhlas melakukan itu semua, suami tetap wajib menjelaskan dan mekonfirmasi bahwa pekerjaan itu bukanlah kewajibannya. Dan hendaknya diperjelas pula bahwa pemberian nafkah suami tidak ada kaitannya dengan pekerjaan rumah tersebut.

Syekh Sulaiman al-Jamal dalamnya, Hāsyiyah al-Jamal (4/489), menyebutkan:

وقع السؤال فى الدرس هل يجب على الرجل اعلام زوجته بأنها لاتجب عليها خدمة مما جرت به العادة من الطبخ والكنس ونحوهما مماجرت به عادتهن أم لا وأوجبنا بأن الظاهر الأول لأنها اذا لم تعلم بعدم وجوب ذلك ظنت أنه واجب وأنها لاتستحق نفقة ولاكسوة إن لم تفعله فصارت كأنهامكرهة على الفعل

“Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa ia tidak wajib membantu memasak, mencuci dan sebagainya sebagaimana yang berlaku selama ini? Jawabnya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut, karena jika tidak diberitahu, seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban dan akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan manjadikan istri merasa menjadi orang yang terpaksa melakukannya.”

Jika mengacu pada pendapat kedua maka istri wajib membantu suaminya. Kewajiban ini bukan karena suami menafkahi, tetapi karena memang agama yang mewajibkan.

Jalan Tengah

Kedua pendapat di atas sama-sama memiliki dalil, baik naqli maupun ‘aqli. Kedua pendapat tersebut bisa kita kompromikan dengan mencari jalan tengah menggunakan kaidah ushul fikih. Yaitu, al-khurūj min al-khilāf mustahabbun (keluar dari perbedaan adalah sangat dianjurkan).

Jika mengacu pada kaidah di atas maka seorang istri sangat dianjurkan membantu suaminya. Sebab, jika ada dua pendapat berbeda, yang satu mengatakan wajib dan yang lain mengatakan tidak wajib, maka jalan tengahnya adalah sesuatu tersebut menjadi sunnah dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyāth) dan agar kedua pendapat sama-sama tercover. Sebab, meninggalkan suatu yang wajib adalah dosa, sedangkan melakukan suatu yang tidak wajib adalah boleh.

Dalam Mazhab Syafi’i disunnahkan mengusap seluruh kepala saat berwudu karena Mazhab Maliki dan Hambali mewajibkannya. Dalam Mazhab Syafi’i juga disunnahkan memijat (al-dalk) anggota wudu saat berwudu karena Mazhab Maliki mewajibkannya.

Lain dari itu, mayoritas ulama juga menganjurkan agar istri membantu suaminya bila hal tersebut sudah menjadi tradisi. Di Indonesia, tradisinya adalah istri membantu suami mengerjakan urusan rumah tangga (domestik), sedangkan suami yang bekerja di luar rumah. Dari dulu tradisinya sudah seperti itu. Dan tradisi tersebut sama sekali tidak salah.

Dalam Islam, tradisi yang berlaku dapat dijadikan sebagai sumber dan dasar hukum. Al-‘adah muhakkamah. Syaratnya adalah 1) tidak bertentangan dengan nas-nas syariat, dan 2) mengandung maslahat atau maslahatnya lebih unggul daripada mafsadahnya. Nah, istri membantu suami mengurusi rumah memenuhi kedua syarat ini. Masa suami yang bekerja di luar rumah masih mau disuruh mengurus rumah? Itu egois namanya.

Ketahuilah! Ada yang bilang bahwa masalah dalam rumah tangga di mulai di atas ranjang. Akan tetapi, masalah di atas ranjang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar ranjang. Suami yang berkerja di luar rumah dan kemudian masih mengurus urusan domestik, bisa jadi hal itu menjadi pemicu masalah di atas ranjang —yang menjadi penyebab utama rumah tangga tercerai berai. Jadi, ditilik dari sisi ini saja, maslahat istri membantu suami sangatlah besar sekali dan sangat fundamental menjaga keharmonisan rumah tangga.

Alhasil, meskipun pekerjaan domestik tersebut bukan tanggung jawab istri, tetapi istri sangat dianjurkan melakukan dan membantu suaminya. Jika istri melaksanakan hal tersebut, sungguh bukan aib dan sama sekali tidak akan rugi. Yang ada justru untung dua kali, di dunia dan akhirat. Syaratnya kudu ikhlas.

*Ketua PC HMASS Yogyakarta

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan