IMG-20180105-WA0017

HMASS.CO, Lampung–Dipuncak acara untuk memperingati hari ke-7 pasca wafatnya Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Minhadul Ulum, Dusun Wonorejo, Trimulyo, Tegineneng, Pesawaran, Lampung, ratusan jamaah penuhi halaman Masjid Al Ikhlas, Kamis (4/1).

Pada malam-malam sebelumnya, jamaah baik warga sekitar pondok pesantren, para santri, dan sejumlah tokoh agama dan masyarakat, selalu hadir untuk mendoakan Almaghfurlah yang memiliki 4 putri ini.

Namun, pada peringatan malam ke-7 kali ini, hampir ulama se-Lampung yang juga sahabat dari Almaghfurlah KH. Saifuddin Fathoni turut memberikan kesaksian atas perjuangan dan jasa-jasa beliau.

Memberi tausiyah pada acara ini adalah Habib Yahya Bin Hamid As Segaf, Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Jati Agung, Ambarawa, Pringsewu yang juga ketua Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) Provinsi Lampung.

Sebelum tausiyah, serangkaian acara seperti pembacaan yasin dan tahlil dilantunkan dengan khidmat, serta sambutan disampaikan dengan lugas oleh Gus Aminuddin, menantu Almaghfurlah KH. Saifuddin Fathoni.

Dalam tausiyahnya, Habib Yahya menyatakan bahwa almarhum adalah seorang pejuang yang patut menjadi teladan. Perjuangannya dalam mendirikan pondok pesantren adalah bukti dan harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Hal yang berbeda pada peringatan malam ke-7 kali ini adalah pembacaan sekilas biografi Almaghfurlah KH. Saifuddin Fathoni, oleh Ustadz Kasno Suwardi, salah seorang pengurus PP. Minhadul Ulum yang juga termasuk santri awal berdirinya pondok tersebut. Suana pun jadi hening dan terlihat beberapa orang tak kuasa menahan tetes air mata.

Diceritakan dalam biografi tersebut perjalanan Almaghfurlah KH. Saifuddin Fathoni yang dimulai dari pengembaraan menuntut ilmu agama. Dilanjutkan kemudian kisah pengamalan ilmu agama melalui majelis ta’lim di beberapa dusun di Desa Trimulyo hingga mendirikan pondok pesantren, setelah menikah dengan Maryam Maulida.

Kisah yang paling menyentuh yang diceritakan secara pribadi oleh Kang Kasno, adalah ketika membangun pondok pesantren. Dia mengingat sebuah kenangan yang tak mungkin ia lupakan dalam sejarah hidupnya ketika suatu malam bersama Almaghfurlah dan beberapa santri mengambil batu bata.

Pada malam itu, tuturnya dengan suara serak, kami mengambil batu batu menggunakan gerobak sapi. Tapi yang menarik gerobak sapi itu bukanlah sapi, tapi Abah (panggilan almarhum). Saat itu, tubuh kami masih kecil karena kami anak-anak, sedang yang paling besar postur tubuhnya waktu itu hanya Abah. Beliaulah yang menarik dari tobong kapur (sekitar 2 KM dari lokasi pondok) yang lokasinya cukup menanjak, sedang santri lainnya mendorong dari belakang.

Hingga sampai perjalanan di perempatan pasar, tiba-tiba ada beberapa anjing menggonggong keras dan mendekati kami. Kami ketakutan hingga melarikan diri tanpa memperdulikan nasib Abah dan gerobaknya. “Itulah kenangan kami yang tak bisa kami lupakan bersama Abah” ungkap Kang Kasno.

Sang Pejuang itu Telah Pergi Pada Penghujung Akhir Tahun 2017

KH. Saifuddin Fathoni merupakan salah seorang ulama berpengaruh di Provinsi Lampung, terlebih di Kabupaten Pesawaran sendiri. Dimulai dari dakwah di kampung-kampung pada awal dekade tahun 1990-an, beliau kemudian diamanahi masyarakat untuk tinggal dan mengajarkan ilmu agama di Masjid Al Ikhlas Dusun Wonorejo, Trimulyo.

Hingga pada perkembangan berikutnya yang diimbangi dengan perjuangan dalam menegakkan kalimat tauhid, tahun 1997 Pondok Pesantren Minhadul Ulum berdiri yang baru memiliki belasan santri.

Tahun 1999, bapak Sariyo, seorang yang dermawan merelakan tanahnya seluas hampir satu hektare seharga 12 juta untuk kepentingan pondok pesantren. Di tanah itulah kemudian yang menjadi cikal bakal berdirinya sebuah yayasan yang saat ini telah berlangsung beberapa jenjang pendidikan. Mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA) dan Sekolah Menengah Kejuruhan (SMK).

Selain mengasuh pondok pesantren dan mengembangkan pendidikan formal, beliau juga pernah melakukan perjuangan di medan politik. Hal ini dapat dilihat dari kiprah beliau semasa menjadi salah satu anggota DPRD Provinsi Lampung 2004-2009.

Selepas menjadi anggota dewan, beliau diamanahi oleh Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Rais Aam Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman), agar kembali mengayomi jamaah dan para santri, sekaligus membimbing Thariqah. Hingga ajal menjemput, amanah sebagai Sekretaris Jatman Provinsi Lampung masih disandang beliau. Pada masa-masa inilah kehidupan pribadi beliau bak gayung bersambut. Semua elemen mulai dari warga awam, pejabat, para habaib, dan kyai-kyai, dirangkulnya.

Namun, sejak bulan Ramadhan kemarin, aktivitas beliau mulai berkurang. Beliau diuji oleh Allah dengan penyakit yang tak kunjung membaik. Berganti dan berpindah pada beberapa rumah sakit dan mengerahkan tenaga medis, tak ditemukan tanda-tanda yang berbuah senyum santri, jamaah, dan keluarga besar beliau.

Akhirnya, pada hari Jumat 29 Desember 2017 itulah beliau menutup usia, kembali ke rahmatullah. Sebagai salah satu syuhada’ fi sabilillah. Beliau meninggalkan banyak manfaat untuk umat. Tak terhitung berapa santri yang menjadi alumni pesantrennya yang sederhana. Tak tertotal berapa banyak jamaah yang mengikuti pengajiannya. Semoga perjuangan beliau mendapatkan ruang yang terbaik disisi Allah. Amin.

Oleh Royhan Rikza, Wakil Sekretaris I (Bidang Humas & Informasi) Pengurus Pusat (PP) HMASS dan Pemimpin Umum Redaksi HMASS.CO. Di tulis di Pesawaran, Lampung, 5 Januari 2018.

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan