hukuman dalam islam

Oleh Moh. Nadi*

Ada banyak pertanyaan dan komentar ingkar terhadap tulisan saya, “Dalil Hukuman Pindah Agama (Tanggapan terhadap Mun’im Sirry)” yang dipublikasikan di hmass.co (27/08/19). Misalnya, wah! ngeri main bunuh saja, agama, kok, difosilkan? Padahal zaman sudah berubah, tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), dan lain sebagainya.  Intinya, tidak sedikit yang berasumsi bahwa hukuman (had) dalam Islam adalah bentuk dari kekerasan yang bikin ngeri, rigid, tidak relevan lagi, dan melanggar HAM (kebebasan beragama setiap individu).

Pertanyaannya, benarkah asumsi demikian? Mari kita analisa dengan saksama.

Bagi orang yang paham ihwal hukum Islam dengan baik, HAM tidak dapat dijadikan sebagai sumber legislasi hukum Islam. Faktor utamanya adalah karena HAM bukan hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada Alquran dan Sunnah. Mengkritik hukuman mati dengan beralasan HAM adalah sia-sia belaka, terlebih ada konsep maqâshid asy-syarî’ah yang dijadikan sebagai norma utama di dalam memformulasikan hukum Islam.

Ilustrasi hukuman dalam Islam yang dilakukan di beberapa daerah tertentu.

Ilustrasi hukuman dalam Islam yang dilakukan di beberapa daerah tertentu.

Karena itu, biasanya para penentang hukuman mati berlindung di bawah payung kebebasan beragama dengan menggunakan QS 2: 256 sebagai dalih: bahwa kebebasan beragama dijamin oleh Alquran sendiri. Namun demikian, ayat tersebut amat tidak tepat dijadikan sebagai dalih oleh karena dua alasan berikut:

Pertama, interpretasi ayat tersebut adalah kita tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam, tersebab dalil dan kebenaran agama Islam amat jelas sehingga tidak butuh pada paksaan. Allah SWT telah menjelaskan tentang dalil ketuhanan dengan sangat jelas, lengkap, dan sempurna sehingga alasan apa pun tidak dapat diterima bila memilih agama selain agama Islam.

Pun, karena dunia adalah medan cobaan dan ujian (ibtilâ’ wa imtihân), sudah seyogyanya pemaksaan dan sejenisnya untuk beriman adalah tidak boleh, karena hal itu dapat menegasikan esensi cobaan dan ujian dimaksud.

Tidak ada paksaan dalam beragama tidak berarti kita boleh berpindah-pindah agama semau dan sesuka kita. Maksud tidak ada paksaan dalam beragama adalah bahwa keimanan merupakan perkara ketundukan yang didasarkan pada hujah dan bukti-bukti otentik bukan atas paksaan dan tekanan. Oleh karena itu, dalam Islam tidak dikenal paksaan untuk memeluk Islam karena ia telah memberikan hujah dan bukti-bukti otentik yang tidak dapat dibantah, sebagaimana dapat disinyalir dalam keselurahan QS 2: 256.

Kedua, uraian di atas memperjelas bahwa sama sekali tidak ada pertentangan antara kebebasan beragama dan hukuman mati bagi orang yang pindah agama. Tidak ada paksaan beragama dalam Islam dimaksudkan agar orang yang memeluk Islam murni berdasarkan pada dalil dan bukti-bukti otentik, bukan hanya ikut-ikutan atau terpaksa. Mayoritas ulama teologi melarang taklid dalam perkara keimanan.

Ketika orang memeluk Islam berdasarkan pada dalil dan bukti-bukti otentik yang membikin yakin maka ia telah terikat kontrak dengan agama Islam dan tidak boleh memutuskannya. Sebab, dengan keluar dari agama Islam –setelah ia memilihnya berdasarkan pada dalil dan bukti-bukti otentik– berarti ia keluar dari kebenaran menuju kesesatan dan kebatilah serta menjadikan agama Islam sebagai mainan dan candaan.

Menurut Muhammad az-Zuhaili dalam kitab Maqâshid asy-Syarî’ah: Asâsun li Huqûq al-Insân, ada dua faktor utama orang memilih pindah agama. 1) Karena munafik. Ia memeluk Islam karena motif tertentu, sedangkan hatinya tetap kufur (mengingkari Islam). Jelas, orang macam ini telah mempermainkan agama dan memanipulasi umat sehingga amat layak dihukum mati.

Dan, 2) Pindah dari Islam karena pengaruh eksternal hingga menjadi ragu pada Islam. Orang macam ini mesti segera diminta bertobat dan dibimbing kembali tentang hakikat kebenaran Islam. Jika ia sudah diberitahu serta tidak memiliki hujah, tapi tetap memilih pindah agama maka ia berhak dihukum mati karena telah mempermaikan agama dan keyakinan yang benar.

Jadi, hukuman mati bagi orang murtad –pada hakikatnya– sebagai upaya melindungi kebebasan berpikir dan hak beragama itu sendiri agar perkara agama tidak diremehkan, dibuat mainan dan tidak dianggap penting sama sekali.

Tentang hukuman dalam Islam yang dianggap telah usang dan rigid, Syekh al-Buthi menjawabnya dengan apik dalam kitab Al-‘Uqûbât al-Islâmiyah. Menurutnya, ada dua macam hukuman dalam Islam. Pertama, hukuman yang ketentuannya langsung dari Alquran atau Sunnah. Hukuman ini bersifat abadi, sama sekali tidak ada potensi untuk berubah atau diubah meskipun laju zaman terus mengalami perkembangan dan perubahan. Kedua, hukuman yang ketentuannya dipasrahkan kepada hakim sesuai dengan aturan-aturan yang telah ada.

Hukuman pertama berkaitan dengan tindak pidana pokok (al-jarâ’im al-asâsiyah), yaitu kejahatan yang dapat merusak keseluruhan hak-hak Allah, hak-hak manusia, dan nilai-nilai moralitas yang dapat menyebabkan keburukan bagi tatanan masyarakat. Dengan kata lain, kejahatan tersebut dapat merusak lima kepentingan utama (al-dharûriyât al-khamsah) yang dilindungi syariat Islam: agama, kehidupan, harta, akal, dan keturunan.

Demi melindungi agama, disyariatkan hukuman mati bagi orang murtad. Demi menjaga kehidupan, disyariatkan hukum qishâsh. Demi menjaga akal, disyariatkan hukuman bagi pemabuk. Demi melindungi harta, disyariatkan hukuman potong tangan bagi pencuri. Demi melestarikan keturunan, disyariatkan hukuman rajam dan qadzab. Kesemua hukuman tersebut disebut dengan al-hudûd.

Hukuman kedua adalah berkaitan dengan tindak kejahatan sekunder, yaitu kejahatan yang terkait dengan kepentingan sekunder dan tersier (hâjiyât dan tahsîniyât). Ketentuan hukumannya dipasrahkan pada kebijakan waliyul amri (pemimpin) sesuai kejahatan yang dilakukan dan tidak melewati batas aturan syariat. Hukuman ini diistilahkan dengan ta’zîr.

Asumsi bahwa hukuman (al-hudûd) dalam Islam rigid dan telah usang sehingga tidak layak diterapkan pada era post modern adalah tidak benar belaka. Asumsi tersebut tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali, hanya berdasarkan pada imajinasi. Dikira syariat seperti makanan yang bakal basi dan rusak ditelan masa. Dikira semua yang sudah lama tidak akan pernah bermanfaat lagi hingga perlu yang baru.

Padahal, kalau kita mau menggunakan akal dengan benar dan jujur maka betapa banyak hal lama nan kuno masih bermanfaat hingga sekarang dan sampai kapan pun –semisal matahari, air, dan lain sejenisnya. Pun, betapa banyak hal baru yang justru tidak bermanfaat sama sekali bagi kehidupan kita.

Jadi, manfaat atau tidaknya dan maslahat atau tidaknya, tidak melulu ditentukan oleh usia dan masa. Tidak semua yang lama adalah kadarluasa dan tidak semua yang baru adalah bermanfaat. Ada yang berubah dan ada yang tidak berubah. Siklus semacam ini tidak dapat dibantah oleh siapa pun.

Hukuman dalam Islam di bangun di atas siklus tersebut. Setiap tindak kejahatan yang mafsadah dan dampak buruknya tidak berubah meski zaman berubah dan berkembang maka syariat menerapkan hukuman yang tetap dan stabil. Sebaliknya, terhadap tindak kejahatan yang mafsadahnya fluktuatif maka syariat memasrahkannya pada keputusan hakim.

Kemudian, asumi bahwa hukuman dalam Islam identik dengan kekerasan sehingga tidak layak diterapkan adalah tidak benar. Setidaknya karena tiga alasan utama berikut: pertama, sudah maklum bahwa volume hukuman tergantung pada besar dan kecilnya tindak kejahatan yang dilakukan. Semakin besar tindak kejahatannya maka (sudah semestinya) semakin berat hukumannya. Hal semacam itu adalah hal biasa belaka. Tidak hanya dalam hukum Islam, dalam hukum positif pun menggunakan logika demikian.

Kedua, ancaman hukuman berat tersebut sebagai langkah preventif agar tidak melakukan tindah kejahatan yang memiliki dampak besar. Semakin besar ancaman hukuman yang diberikan maka akan semakin besar pula peluang mencegah terjadinya tindak kejahatan tersebut. Jadi, kalau Anda merasa ngeri, maka tujuan hukuman itu ditetapkan telah berhasil!

Ketiga, hukuman dalam Islam tidak sekonyong-konyong diimplementasikan. Ada banyak syarat dan ketentuan yang mesti dipenuhi sebelum hukuman tersebut dijatuhkan. Hukuman rajam, butuh banyak saksi dan harus melihat lansung keluar masuknya penis dari dan ke dalam vagina. Hukuman potong tangan, harus mencapai ukuran tertentu. Hukuman mati bagi orang murtad, harus diminta bertobat dan dibimbing terlebih dahulu.

Jadi, tidak benar ungkapan bahwa Islam lansung main bunuh. Dalam soal hukuman (hudûd) tidak ada yang lebih hati-hati dan selektif melebihi agama Islam. Rasulullah SAW pernah menolak pengakuan Ma’iz yang mengaku berbuat zina. Beliau tidak semerta-merta merajam melainkan memastikan terlebih dahulu. Toh, ketika kasusnya tidak jelas dan pasti (masih ada syubhat) maka hukumannya menjadi gugur. Al-hudûd tadra’u bi asy-syubhât (hukuman menjadi gugur sebab ada syubhat), begitulah kaidah hukum Islamnya.

Yang jelas, hukuman (al-hudûd) dalam Islam tidak akan pernah bertentangan dengan firman Allah wamâ ‘arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn. Yang mempermasalahkannya hanyalah orang-orang dengki atau dangkal pemahamannya. Karena itulah, KH. Maimun Zubair menegaskan dalam kitab al-‘Ulamâ’ al-Mujaddidûn, bahwa andai hukum Islam diterapkan dengan benar pasti akan membawa kemaslahatan. Wallâhu a’lam bi shawâb.

*Penulis adalah Wakil Ketua PC HMASS Yogyakarta. Mahasiswa Jurusan Hukum Islam, Universitas Islam Indonesia.

 

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan