Screenshot_2018-12-06-13-22-42-759_com.android.chrome

Oleh: Moh. Nadi*

Beredar tulisan seorang kiai asal Banten berjudul “Habaib Bukan Ahlulbait”. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa habaib bukan ahlulbait yang memiliki keutamaan sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Menurutnya, ahlulbait hanya terbatas pada istri-istri Nabi saw, Siti Fathimah, Sayidina Ali, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain. Keturunan mereka (habaib) tidak termasuk. Sebab itu, kewajiban mencintai (dan yang lain) ahlulbait–yang telah Rasulullah saw perintahkan–tidak mencakup habaib yang ada saat ini. Benarkah demikian?

Tulisan tersebut sangat tendensius dan manipulatif. Sebab, penulis berkesimpulan bahwa habaib saat ini tidak termasuk ahlulbait, tapi dalam tulisannya dia tidak mengetengahkan dalil-dalil takhshîsh (pengkhususan) bahwa keturunan mereka tidak termasuk ahlulbait. Dia malah fokus membahas panjang lebar bahwa yang dipuja-puji dalam ayat dan hadis adalah Siti Fatimah, Sayidina Ali, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain. Premisnya sudah cacat, sehingga kesimpulannya tidak dapat diterima.

Dalam tulisan ini, saya hanya akan fokus menguraikan analisis dan pendapat ulama mengenai habaib (keturanan Sayidina Husain dan Sayidina Hasan), apakah termasuk ahlulbait atau bukan. Tidak ada maksud lain dari tulisan ini terkecuali sebab amanat ilmiah. Jika tulisan-tulisan semacam di atas–yang sangat tendensius–dibiarkan, bisa jadi orang awam akan salah paham dan melahirkan syubhat di tengah-tengah masyarakat, yang pada akhirnya akan melahirkan perdebatan dan bahkan konflik yang tak signifikan.

Dalam Surah al-Ahzab, Allah swt berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرًا

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS al-Ahzab [33]: 33)

Ulama tafsir berbeda-beda pendapat di dalam menafsiri kata “ahlu al-bait” dalam ayat di atas. Pertama, ahlulbait dalam ayat di atas terbatas pada istri-istri Nabi saw sesuai dengan hubungan dan urutan ayat (siyâq). Pendapat ini merupakan pendapat Ikrimah, Muqatil bin Sulaiman, Imam Atha’, Ibnu Abbas, dan Said bin Jubair.

Kedua, ahlulbiat adalah istri-istri Nabi saw dan ashhâb al-kisâ’, yaitu Nabi Muhammad, Siti Fathimah, Sayidina Ali, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Ibnu Abdilbar, Imam al-Qurthubi, dan salah satu pendapat Imam ar-Razi.

Ketiga, ahlulbait adalah Nabi Muhammad saw sendiri. Ini merupakan pendapat Imam Hasan al-Bashri. Al-Qadhi Iyadh, dalam kitab asy-Syifâ bi Ta’rîfi-Huqûq al-Mushthafâ, menyebutkan:

مذهب الحسن أن المراد بآل محمد محمد نفسه

“Menurut pendapat Imam Hasan al-Bashri, bahwa yang dimaksud dengan keluarga Nabi Muhammad adalah Nabi Muhammad sendiri.”

Keempat, ahlulbait adalah setiap orang yang diharamkan menerima zakat. Menurut mayoritas ulama fikih empat mazhab, mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib.

Kelima, ahlulbait adalah semua pengikut Nabi Muhammad saw yang konsisten mengikuti agamanya hingga hari kiamat. Pendapat ini di-rajih-kan oleh Imam Nawawi dan dipilih oleh sebagian murid-murid Imam Syafi’i.

Keenam, ahlulbait adalah umat Nabi Muhammad sawyang bertakwa saja. Pendapat ini diceritakan oleh Imam Qadhi Husain dan Imam al-Raghib.

Ketujuh, ahlulbait adalah ashhâb al-kisâ’ saja, yaitu Nabi Muhammad, Siti Fathimah, Sayidina Ali, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Menurut Imam al-Baghawi, pendapat ini juga dikemukan oleh Abu Said al-Khudri, dan beberapa tabi’in macam Imam Qatadah dan Imam Mujahid. Dan pendapa ini merupakan pendapat resmi kelompok Syi’ah.

Dari uraian di atas, jelas cakupan ahlulbait berbeda-beda tergantung pendapat siapa yang dipilih. Namun, dapatkah disimpulkan bahwa habaib tidak termasuk ahlulbait? Menurut ulama, sebagaimana disebutkan Imam Abu Bakar Syihabuddin al-Alawi al-Hadhrami dalam kitab, Rasyfah ash-Shâdî, pembatasan dalam beberapa definisi di atas tidak mencegah masuknya keturunan mereka dalam cakupan ahlulbait, selamanya. Alasannya, cakupan kata “ahlu al-bait” untuk generasi selanjutnya dari mereka laiknya cakupan kata “al-‘ummah” untuk orang-orang selanjutnya.

Selain itu, terdapat banyak hadis yang menjelaskan bahwa habaib termasuk ahlulbait. Di antaranya adalah hadis-hadis berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ الثَّقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ الْآخَرِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنْ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي أَلَا إِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasululla saw bersabda: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain; 1) Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan 2) ‘itrahku, yaitu ahlulbaitku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Imam Ibnu Hajar dalam kitab, ash-Shawa’iq al-Muhriqah, menyebutkan sebuah hadis:

في كل خلف من امتي عدول من أهل بيتي

“Disetiap masa yang dilalui oleh umatku pastilah terdapat orang-orang yang adil dari keluargaku.”

Dalam hadis lain disebutkan:

النجوم امان لأهل السمآء و اهل بيتى امان لأهل الأرض، فإذا ذهب اهل بيتى ذهب اهل الأرض

“Bintang-bintang itu pengaman penduduk langit, dan ahlibaitku pengaman penduduk bumi. Apabila ahli baitku hilang, maka penduduk bumi hilang.” (HR Ahmad)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa eksistensi ahlulbait akan selalu ada hingga hari kiamat, yaitu anak-cucu dari Sayidina Hasan dan Sayidina Husain–yang saat ini kita kenal dengan sebutan habaib. Di tambah, ada banyak riwayat hadis–ada yang mengatakan sudah mutawatir–yang menyatakan bahwa Imam Mahdi yang akan turun di akhir zaman adalah seorang ahlulbait.

Lain dari itu, amat banyak ulama yang menegaskan hal serupa. Di antaranya, Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi, dalam kitab al-Futûhât al-Makiyah, menegaskan:

فدخل الشرفاء أولاد فاطمة كلهم الى يوم القيامة في حكم هذه الآية من الغفران فهم المطهرون باختصاص من الله تعالى وعناية بهم لشرف محمد وعناية الله سبحانه به

“Maka, semua syarif (habaib) merupakan putra-putra Siti Fathimah juga hingga hari kiamat dan mendapat pengampunan karena masuk dalam cakupan ayat di atas. Mereka adalah orang-orang yang disucikan dengan mendapat privilege dari Allah swt dan perlindungan, karena kemuliaan Nabi Muhammad saw serta karena perhatian Allah swt kepada Nabi Muhammad.”

Imam Ibnu Hajar, dalam kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqah, menyebutkan:

وأما الذرية فمن الآل على سائر الأقوال

“Adapun zuriyat (ahlulbait) juga termasuk ahlulbait menurut beberapa pendapat ulama.”

Imam Sya’rani dalam kitabnya, al-Yawâqît wal al-Jawâhir, menegaskan:

ويجب اعتقاد وجوب محبة ذرية نبينا محمد صلى الله عليه وآله وسلم وإكرامهم واحترامهم وهم: الحسن والحسين ابنا فاطمة رضي الله عنهم وأولادهم إلى يوم القيامة، وأن نكره كل من آذى شريفا وهجره ولو كان من أعز أصحابنا

“Kita harus meyakini kewajiban mencintai zuriyat Nabi saw, memuliakan, dan menghormati mereka, yaitu Sayidina Hasan dan Husain serta anak-anak mereka hingga kiamat tiba. Kita juga harus membenci setiap orang yang menyakiti habib dan menghentikannya meskipun ia orang yang terpandang bagi kita.”

Alhasil, habaib yang ada saat ini dan seterusnya termasuk ahlulbait yang dikehendaki dalam ayat di atas dan dalam hadis yang menyebutkan tentang keutamaan ahlulbait. Tidak ada satu pun dalil spesifik yang mengatakan bahwa habaib tidak termasuk ahlulbait. Di tambah lagi, ayat di atas menggunakan fi’il mudhari’ yang menunjukkan arti tajaddud dan istimrâr (terus-menerus), seperti ditegaskan Imam Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya.

*Ketua HMASS Yogyakarta

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan