70642-bcl

Oleh: Moh. Nadi*

Tak selang lama setelah suaminya meninggal, penyanyi Bunga Citra Lestari, akrab dipanggil BCL, kembali beraktivitas sebagaimana biasanya dengan menghadiri konser dan menyanyi. Tidak sedikit netizen yang mempertanyakan dan mempermasalahkannya, pasalnya ia masih dalam masa idah pasca suaminya meninggal. Benarkah perempuan yang dalam masa idah tidak boleh berhias dan keluar rumah?

Idah adalah jeda waktu seorang perempuan menunggu (tidak menikah lagi) karena untuk mengetahui kekosongan rahim (hamil atau tidak); untuk beribadah; atau untuk berkabung. Tujuan asasi idah adalah untuk mengetahui kekosongan rahim demi menghindari ketidakjelasan nasab. Namun, tujuan yang paling umum idah dilakukan adalah sebagai bentuk ibadah (ta’abbudi).

Hal itu, jika hanya ingin mengetahui hamil atau tidaknya maka tidak perlu idah hingga tiga kali sucian sebagaimana pendapat Mazhab Syafi’i. Satu kali sucian sudah cukup, karena orang yang haid tidak mungkin hamil. Lain dari itu, pada saat ini sangat mudah mengetahui perempuan hamil atau tidak dengan melakukan semacam tes kehamilan. Pun, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan tidak pernah berhungan intim tetap diwajibkan idah, padahal jelas sekali dia tidak akan hamil. Dengan demikian, tujuan paling umum kewajiban idah adalah ta’abbudi.

Idah ada dua macam. Pertama, idah talak. Yakni, idah yang disebabkan oleh perceraian. Dalam Mazhab Syafi’i, idah talak hanya wajib bagi perempuan yang pernah di-dukhûl (berhubungan intim) oleh suaminya. Jika tidak pernah berhubungan intim maka tidak wajib idah. Yang dijadikan dalil adalah firman Allah swt berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS Al-Ahzab [33]: 49)

Dalam idah talak, bila perempuan yang ditalak hamil maka idahnya sampai melahirkan, baik secara normal maupun digugurkan (Syarh al-Yâqût al-Nafîs: 652). Jika tidak hamil dan aktif haid maka idahnya tiga kali sucian, menurut Mazhab Syafi’i. Namun, bagi perempuan yang tidak aktif haid, baik karena belum cukup umur maupun karena sudah mencapai usia menopause, maka idahnya tiga bulan.

Kedua, idah wafat. Yakni idah yang dilakukan karena ditinggal mati suaminya. Perempuan yang ditinggal mati suaminya wajib melakukan idah meski belum pernah berhubungan intim, sekalipun. Bagi yang hamil, idahnya hingga melahirkan, seperti pada idah talak di atas. Bagi yang tidak hamil, idahnya empat bulan sepuluh hari.

Selain itu, perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak hanya wajib idah, tetapi juga wajib ihdâd yakni tidak boleh berdandan, berhias, dan keluar rumah. Ihdâd hanya wajib bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya dan perempuan yang ditalak tiga. Kewajiban ihdâd bersifat definitif (qath’i) sehingga tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hanya saja, dalam aspek teknis implementasinya, ulama berbeda pendapat. Misalnya berkaitan dengan wanita karir, seperti BCL, yang mesti bekerja di luar rumah. Apakah dia diperbolehkan keluar rumah dan berhias? Nah, ulama berbeda pendapat.

Mayoritas ulama sepakat bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak boleh berhias, berdandan, dan keluar rumah. Meski begitu, dalam masalah keluar rumah, ulama masih memberi kelonggaran. Boleh keluar rumah asalkan memang ada kebutuhan (hajat), misalnya bekerja untuk mencara nafkah, mengobral dengan tetangga, mengajar, membeli keperluan, dan lain-lain.

Namun demikian, ada satu pendapat dari Imam Hasan al-Bashri, seorang tabi’in, yang menyatakan perempuan yang ditinggal mati suaminya boleh melakukan aktifitas apapun, berhias atau keluar rumah, kecuali menikah –menikah tidak boleh karena harus menunggu masa idah selesai.

Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, sebagaimana dikutip Asy-Syathiri dalam Syarh al-Yâqût al-Nafîs, menyatakan seperti pernyataan Imam Hasan al-Bashri di atas. Namun beliau menekankan hanya khusus orang awam agar mereka tidak merasa berat dan terbebani.

Imam Ahmad al-Attas juga menegaskan:

نحن لا نقول لكم: اتركوا أقوال أهل العلم وقصده إنما هو التيسير للعامة

“Kami tidak menyuruh kalian untuk meninggalkan pendapat para ulama, kami hanya bermaksud memberi kemudahan terhadap orang awam.”

Beliau juga menegaskan:

كل له حال وكل له خطاب خاطبوه بخطابه

“Setiap orang memiliki kondisi tertentu dan semua ada khitabnya. Maka, berilah hukum sesuai dengan khithabnya.”

Dengan demikian, bila mengacu pada pendapat Imam Hasan al-Bashri dan Imam Ahmad bin Hasan al-Attas di atas, idah perempuan yang tinggal mati suaminya sama belaka dengan idah perempuan yang ditalak, yang tidak boleh hanya menikah kecuali masa idahnya sudah selesai.

Sungguh pun demikian, perlu diperhatikan secara saksama bahwa pendapat Imam Hasan al-Bashri merupakan pendapat lemah. Mayoritas ulama sekapat bahwa ihdâd wajib bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya. Oleh karena itu, dalam kondisi tidak membutuhkan dan mendesak, tetap lebih baik dan selamat ikut pendapat mayoritas ulama. Wa ‘alaih al-‘irsyâd.

*Ketua PC HMASS YOGYAKARTA

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan