images (5)
Oleh: Moh. Nadi*

Imam Abu Hanifah merupakan salah satu mujtahid mutlak dan pendiri Mazhab Hanafi, salah satu mazhab fikih yang diakui kredibilitas dan validitasnya hingga kini. Kealiman Imam Abu Hanifah sangat tersohor hingga banyak orang dari pelbagai belahan dunia yang ngaji kepada beliau, khususnya dalam bidang hukum Islam (fikih).

Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah. Konon, seperti dikisahkan Ibnu Khalikan, beliau memiliki tetangga yang berprofesi sebagai tukang sepatu. Ia bekerja mulai pagi hingga sore hari. Ketika malam menghampiri, ia pulang ke rumah dengan membawa daging atau ikan. Biasanya, ia akan memasak atau memanggangnya. Kemudian ia akan minum sampai mabuk dan ia akan bersenandung:

أضاعوني وأي فتى أضاعوا * ليوم كريهة وسداد ثعر

Syair tersebut merupakan syair melankolis, seakan-akan tidak ada orang yang peduli kepadanya. Dia akan terus minum dan menyanyikan syair di atas hingga ia tertidur.

Tiap malam, Imam Abu Hanifah biasa mendengar nyanyian tetangganya tersebut saat beliau hendak salat tahajud atau tidak tidur malam (sahrul-lail). Lantas, pada suatu malam, beliau tidak lagi mendengar suara nyanyian tetangganya itu. Ketika ditanyakan, ternyata dia dibawa “Satpol PP” dan ditahan.

Keesokan harinya, setelah salat subuh, Imam Abu Hanifah menaiki keledainya untuk menemui pemimpin (‘amir) kota Kufah. Setelah minta ijin bertemu, pemimpin Kufah mempersilakan dan memerintahkan pada bawahannya agar Imam Abu Hanifah dibiarkan menghadap dengan tetap menunggangi keledainya. Sesampai di depannya, sang pemimpin tidak menyuruh Imam Abu Hanifah turun. Saat ditanyakan keperluannya. Imam Abu Hanifah berkata:

“Aku punya tetangga berprofesi sebagai tukang sepatu. Dia dibawa “Satpol PP” dan ditahan. Tolong bebaskan dia.”

“Baik. Dan akan aku bebaskan juga orang-orang yang ditangkap bersamaan dengannya,” jawab sang pemimpin.

Lalu, Imam Abu Hanifah pulang menaiki keledainya dan tetangganya tadi mengikuti dari belakang. Setelah sampai rumah, Imam Abu Hanifa bertanya pada tukang sepatu tadi:

“Apakah aku tidak peduli padamu?”.

“Tidak,” jawab si tukang sepatu, “Anda sangat peduli dan menjagaku. Semoga Allah membelas kebaikan Anda yang tetap menghormati tetangga dan menjaga hak-haknya.”

Akhirnya, tukang sepatu tadi bertobat dan tidak pernah mabuk-mabukan lagi.

Sekarang, pelajaran apa yang dapat kita petik dari kisah di atas?

Pertama, kita tetap harus memuliakan tetangga tanpa melihat profesi dan apa yang dilakukannya. Karena perintah memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya bersifat mutlak, tidak ada kriteria khusus.

Kedua, kita tidak berhak merendahkan, menghina, atau memusuhi orang lain yang melakukan kemaksiatan dan dosa, misalnya sekonyong-konyong dicap sebagai ahli neraka. Jangan! Sebaliknya, tanggung jawab kita adalah menasehatinya dengan cara yang baik dan persuasif.

Ketiga, mengajak pada kebaikan dengan langkah-langkah agresif dilarang di dalam agama. Mengajak dan menasehati mesti dengan cara yang santun, seperti ditegaskan Allah swt berikut:

فَبِمَا رَحۡمَةࣲ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِیظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِی ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِینَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159)

*Ketua PC. HMASS Yogyakarta

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan