generasi-milenial

Oleh Moh. Nailur Rohman

Bicara tentang Generasi Milenial, tentu tidak afdal jika kita tidak mengetahui, siapa saja sih, yang termasuk dalam generasi ini? Oke, Generasi Milenial adalah kelompok demografi yang lahirnya setelah Generasi X atau lebih dikenal dengan istilah Gen-X. Sebenarnya, tidak ada tahun yang pasti mengenai kapan Generasi Milenial ini lahir. Namun, banyak peneliti yang menggunakan awal tahun 1980-an sebagai awal lahirnya generasi ini dan awal 2000-an sebagai akhir lahirnya.

Generasi Milenial atau Generasi Y juga disebut dengan Echo Boomers. Sebab, pada kisaran tahun 1990 sampai dengan 2000 terjadi peningkatan besar-besaran (booming) tingkat kelahiran. Tercatat dalam Wikipedia, Generasi Milenial adalah anak-anak Gen-X yang tua dan Generasi Baby Boomers yang notabene lahir pada kisaran tahun 1940 sampai dengan 1960. Dengan demikian, siapakah yang pantas disebut sebagai Generasi Milenial? Jawabannya adalah “kita”.

Namun di dalam tulisan ini, penulis hanya ingin membahas kepribadian Generasi Milenial itu sendiri. Dalam dunia Generasi Milenial ini, terdapat sebuah istilah No gadget no life. Maksudnya, mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang kecanduan terhadap gadget. Bahkan karena terlalu sering bermesraan dengan gadget, rasanya gadget telah menjadi separuh hidupnya. Sebenarnya hal ini merupakan dampak dari “kemudahan” yang disuguhkan oleh para “pencipta gadget” melalui fitur-fitur di dalamnya.

Ditambah lagi dunia pendidikan dan pekerjaan yang belakangan ini lebih dominan bisa diakses secara online, menambah efek candu para Generasi Milenial terhadap kecanggihan teknologi. Dalam dunia pendidikan misalnya, saat ini sudah banyak lembaga pendidikan yang berbasis online, mulai pendaftaran, tes masuk, tugas-tugas tenaga pendidik, bahkan ujian dan transkrip nilai juga bisa diakses secara online. Untungnya ijazah masih belum berbentuk e-ijazah.

Dengan begitu, kita tidak perlu heran bila Generasi Milenial juga kritis terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya. Dengan gemarnya, mereka akan beropini tentang berita-berita yang bisa mereka akses dengan mudah melalui gadgetnya masing-masing. Mungkin hal itu terjadi karena mereka terbiasa membaca melalui gadgetnya dan mereka pun tertarik untuk dibaca khalayak umum.

Namun sayangnya, realita menyatakan bahwa lebih banyak Generasi Milenial yang menyalahgunakan gadget dari pada menggunakan dengan baik. Banyak dari mereka yang menggunakan gadget hanya untuk gaya hidup. Hasil survei kami pribadi melalui status WhatsApp membuktikan 85 dari 100 pengguna menggunakan fitur status sebagai sarana untuk memamerkan kegiatannya. Sedang 10 diantaranya berstatus ria dengan perasaannya, 2 diantaranya mengisi fitur statusnya barang dagangan, dan 3 akun lain adalah orang-orang yang membuat kami salut dengan sifat bijaknya.

Maksudnya, kita tidak jarang menemukan teman-teman Generasi Milenial di sekitar kita, yang tidak malu lagi untuk memamerkan hidupnya tanpa memfilter mana yang layak dipertontonkan dan mana yang tidak. Mulai dari makan, minum, belajar, bersantai, hingga tidak ragu lagi untuk sekadar mengetik “OTW”. Begitu pula teman-teman kita yang cenderung membawa perasaannya ke ranah publik. Lebih dari itu, banyak pula kita temukan mereka terlihat lebay dalam penyampaiannya.

Ironinya lagi, dengan semakin canggihnya gadget yag ada di genggaman kita, hoax pun semakin merajalela. Meskipun salah satu ciri Generasi Milenial adalah kritis terhadap suatu fenomena, faktanya masih banyak berita-berita tidak tersaring dengan baik. Seandainya para pengguna gadget di dunia ini bisa lebih bijak lagi dalam menggunakannya, tentu kerukunan akan tumbuh indah di mana-mana. Tidak akan kita temukan lagi tumpah darah, hoax-hoax akan terhapuskan dengan sendirinya, dan diri kita akan tertarik untuk ikut andil menyukseskannya.

Kok bisa? Coba kita merenung sejenak. Ketika kita, sebagai Generasi Milenial menyebarkan suatu berita tanpa mengetahui apakah berita itu benar atau tidak, tanpa kita sadari kita telah menebar sesuatu yang belum diketahui kebenarannya. Dampaknya, orang lain yang juga tidak mau tahu dengan fakta akan termakan dengan berita tersebut. Dengan begitu, berarti kita telah ikut andil dalam penyebaran hoax.

Solusinya, kita harus memulai dari diri sendiri. Kita harus memulai sebuah perubahan yang memiliki nilai positif. Kita bisa mengurangi persebaran hoax dengan cara mencari tahu tentang berita yang kita terima sebelum kita menekan kolom share. Jika kita tidak menemukan kebenaran, setidaknya kita tahu mana pihak yang mayoritas dan mana yang minoritas. Baru setelah itu, kita bisa menciptakan sebuah opini baru yang lebih benar, lalu me-share di akun pribadi kita, agar akun kita tidak hanya berisi hal-hal lebay dan tidak penting.

Terakhir, jadilah Generasi Milenial sesuai dengan apa yang diharapkan oleh agama, bangsa, dan negara. Caranya, kita harus menjadi pribadi yang tahu posisi dirinya sendiri. Sebagai generasi yang tidak buta teknologi, kita juga harus ikut andil dalam mengurangi penyebaran hoax. Sebab, manusia terbaik adalah dia yang bisa bermanfaat kepada orang lain.

*Penulis adalah kader HMASS Malang. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Belakangan ini, dia sedang mencocokkan diri sebagai mahasiswa jurusan sastra yang harus menggeluti jutaan literasi. Jadi wajar, jika masih merangkak di bidang tulis-menulis. Kalian bisa menghubunginya melalui akun Instagramnya, @muhammadnailur.

 

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan