masjid

Oleh Moh. Nadi*

Perdebatan soal agama sudah berlangsung sejak lama. Berabad-abad lamanya. Terutama perihal agama yang benar dan diakui Allah SWT. Pengikut Yahudi mengklaim, hanya agama Yahudi yang paling benar. Pun, pengikut agama Kristen yang juga mengklaim bahwa hanya agama Kristen yang benar dan pilihan Tuhan. Tak beda, umat Islam pun menganggap bahwa saat ini hanya agama Islam yang benar dan diridai. Bahkan, ada yang menyatakan semua agama benar. Sebab, agama-agama tersebut berasal dari satu Tuhan; Allah SWT.

Lantas, klaim mana yang paling benar? Sejatinya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam sama-sama benar, sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an juga disebutkan bahwa baik orang Yahudi, Nasrani, Shabiin, sama-sama berhak masuk surga asalkan mereka memiliki keimanan.

Meskipun demikian, risalah agama Yahudi dan Kristen tidak bersifat abadi, oleh karena setelahnya ada risalah lagi. Tentu, jika risalah baru datang, secara otomatis risalah sebelumnya terhapuskan meski terkadang tidak semuanya. Ada ajaran-ajaran risalah sebelumnya yang relevan dan dilestarikan. Konsekuensi lainnya adalah pengikut-pengikut risalah sebelumnya secara otomatis juga harus mengakui dan mengikuti risalah yang baru.

Lain dari itu, secara subtansial setiap risalah tidak memiliki perbedaan signifikan dengan risalah sebelumnya; sama-sama dari Allah SWT dan untuk kemaslahatan umat manusia. Mungkin dalam sebagian ajarannya ada yang berbeda, tetapi dalam hal keimanan tetap sama; mengesakan Allah swt.

Dari uraian di atas jelaslah maksud dan mengapa saat ini hanya agama Islam yang paling benar, apalagi agama Yahudi dan Nasrani sudah tidak murni. Banyak mengalami distorsi dan manipulasi.

Selain itu, kebenaran agama Islam tidak menafikan kebenaran syariat-syariat agama sebelumnya. Terbukti, tidak sedikit ajaran agama sebelumnya yang diadopsi, masih dilestarikan dan diperaktekkan dalam Islam.

Jadi, setidaknya ada dua alasan utama yang memperkuat argumen kebenaran agama Islam. Pertama, karena agama Islam adalah penyempurna dan penegasan dari agama para Nabi sebelumnya. Akidahnya sama, mulai dari Nabi Adam hingga nabi pamungkas, Nabi Muhammad SAW, yaitu mengesakan Allah SWT. Hanya dalam hal-hal praktis dalam keagamaan (syariat) yang memiliki perbedaan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena perbedaan misi setiap nabi dan rasul, perbedaan tujuan serta perbedaan umat yang menjadi objek risalah.

Keduaagar umat manusia tidak tercerai berai karena agama. Dengan satu agama, setiap orang akan bahu membahu memakmurkan bumi, bukannya ribut berkepanjangan perihal agama mana yang paling benar.

Hal tersebut terlihat jelas dari Firman Allah swt dalam al-Qur’an berikut:

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepda Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkan agama, dan janganlah kamu terpecah belah tentangnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syu’ara [42]: 13).

Namun demikian, meskipun kini agama Islam adalah agama yang benar dan agama lain tidak benar, tidak berarti kita mesti memaksa pemeluk agama lain untuk mengikuti dan meyakini agama yang kita yakini, apalagi dengan cara kekerasan baik lisan maupun fisik.

Masalah orang lain mau memeluk agama Islam atau tidak; mau meyakini kebenaran agama Islam atau tidak adalah murni hak prerogatif Allah SWT. Manusia tidak memiliki hak sama sekali. Oleh demikian itu, Allah menegaskan dalam al-Quran (QS. [2]: 256) bahwa tidak ada paksaan dalam agama . Senada dengan akhir ayat di atas bahwa semua kembali kepada kehendak Allah SWT.

Allah berhak melakukan apapun yang Dia kehendaki dan tidak seorang pun berhak menanyakan apa yang Dia lakukan. Allah yaf’alu maa yasya’ wa laa yus’alu ‘amma yaf’al.

*Penulis adalah Wakil Ketua PC HMASS Yogyakarta. Mahasiswa Jurusan Hukum Islam, Universitas Islam Indonesia.

 

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan