IMG-20180129-WA0031

HMASS.CO, Pasuruan — Imam al-Ghazali adalah ulama dan penulis besar yang mampu menetralisir penyimpangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan, serta menunjukkan kebenaran Islam. Ia dijuluki Hujjatul Islam, Argumentator Islam. Mahasiswa santri diharapkan menjadi penerus Imam al-Ghazali.

Demikian di antara isi taujihat (pengarahan) dari Koordinator Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS), Mas d. Nawawy Sadoellah, yang dibacakan oleh Ketua PP IASS, Mas H. Achmad Sa’dulloh Abd. Alim, pada Rapat Koordinasi PP-PC Harakah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri (HMASS) se-Indonesia, di Gedung IASS, Pasuruan (21/1/18). Berikut isi taujihat selengkapnya.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى أله وصحبه ومن والاه. أما بعد

Alhamdulillah, kita semua masih memiliki ikatan hati untuk tetap bersama Sidogiri meskipun beberapa dari kita mungkin sudah berada di alam yang berbeda dengan Sidogiri. Mudah-mudahan hal itu merupakan pertanda baik bahwa apa yang kita dapatkan selama di Sidogiri sudah tertanam kuat sebagai pandangan hidup yang final bagi kita semua.

Selama di Sidogiri, kita telah diajari untuk melihat ilmu sebagai alat. Bahwa ilmu dipelajari dan didalami bukan untuk ilmu itu sendiri, melainkan sebagai alat agar kita memiliki keyakinan yang benar, perasaan yang jernih, perilaku yang mulia, serta sikap yang terarah. Ketika alat itu tidak dipergunakan untuk fungsi yang sesungguhnya, maka jadilah ilmu yang tidak bermanfaat. Yakni, ilmu yang oleh ulama-ulama kita diibaratkan seperti pohon yang tidak berbuah. Mungkin saja begitu rimbun daunnya, mungkin saja begitu besar batangnya, tapi hakikat nasibnya adalah untuk ditebang dan dibakar semata.

Adik-adik anggota HMASS sekalian… Sidogiri menunggu kalian seperti seorang ayah yang harus menunggu waktu lama untuk kedewasaan anak-anaknya. Maka, sudah saatnya bagi kalian untuk menjadi angin timur di dunia kalian masing-masing. Jadilah fajar timur di ufuk pagi yang mencerahkan, bukan mega barat yang membawa petang menjadi kelam.

Penting sekali hal ini ditekankan kepada kalian, mengingat dunia kampus hampir selalu menjadikan Barat sebagai rujukan dan acuan dalam segala hal, tidak hanya dalam hal sains dan teknologi, tapi juga dalam hal peradaban, pandangan hidup, moralitas kehidupan, atau bahkan dalam hal spiritualitas keagamaan. Ini sangat berbahaya bagi generasi terdidik kita saat ini. Lebih berbahaya daripada saat filsafat Yunani menjajah pemikiran teologis umat Islam pada masa-masa ulama kita dahulu. Untungnya, dulu kita punya ulama-ulama hebat yang menetralisir itu semua, sehingga akidah mayoritas umat Islam tetap terjaga kebeningannya hingga sat ini.

Dulu, kita punya Imam al-Ghazali yang menulis beratus-ratus lembar argumentasi ilmiah untuk menghalau pengaruh Barat terhadap pemikiran keagamaan Islam. Dan, sekarang kita menunggu lahirnya al-Ghazali-al-Ghazali baru dari rahim HMASS ini. Musuh utama kalian dalam pemikiran adalah liberalisme Islam; dan musuh utama kalian dalam hal budaya adalah pergaulan bebas. Jadilah duta-duta Sidogiri di dunia kalian, khususnya untuk melawan dua hal ini.

Kalian sudah bukan lagi pemula untuk bertarung dalam masalah ini. Kalian sudah memiliki bekal yang bisa dianggap cukup untuk tidak terpengaruh dengan kecenderungan-kecenderungan yang tidak benar dan tidak baik, selama kalian tidak melepaskan diri dari komunitas Sidogiri. Oleh karena itu, kalian butuh berkumpul agar bisa saling membantu, saling menjaga, dan saling mengingatkan. Sering berkumpul dengan orang-orang Sidogiri merupakan salah satu cara agar tetap menjadi Sidogiri.

Jangan lupa, sesibuk apapun sempatkan diri untuk istikamah mengaji bersama dengan alumni-alumni yang lain. Mengikuti pengajian Sidogiri merupakan salah satu wahana terbaik agar jiwa kesantrian kalian terus terjaga, atau bahkan terus tumbuh dan bersemai.

Adik-adik anggota HMASS sekalian… Ingatlah, beberapa pentolan Islam Liberal di negeri kita ini justru merupakan mantan santri yang pinter membaca kitab kuning dan memiliki background pengetahuan keagamaan yang cukup mapan. Mereka menjadi liberal karena mendapatkan panggung yang salah ketika terjun menjadi akademisi. Mereka bergaul di lingkungan yang salah. Mereka bergabung dengan aktivis-aktivis yang berhaluan kiri. Mereka memiliki tujuan hidup yang salah, sehingga menjadikan ilmunya sebagai tumbal untuk mendapatkan popularitas, jabatan, uang, gelar, peluang dan lain sebagainya. Hasilnya, mereka pintar sekali memutarbalikkan dalil-dalil agama untuk mendukung kepentingan-kepentingan pihak yang menjadi sponsornya. Kalian pasti tahu, bahwa semua ini bukan tuduhan yang mengada-ngada, tapi fakta yang muncul di mana-mana.

Coba lihat, siapa yang membela LGBT? Siapa yang menganggap semua agama benar? Siapa yang membela Ahmadiyah? Siapa yang mati-matian membela penista agama? Siapa yang menganggap semangat keislaman sebagai fundamentalis? Beberapa orang di antara mereka adalah mantan Gus, juga mantan santri yang pintar membaca kitab kuning! Naudzu billah min dzalik!

Menurut cerita yang saya terima dari teman-teman yang aktif di kampus, beberapa pergerakan mahasiswa yang berlabel Islam, kadangkala lebih mirip dengan para pemuda komunis dibandingkan dengan para pemuda yang beragama. Bagaimana tidak? Ada banyak di antara mereka yang tidak salat. Ada banyak di antara mereka yang gemar dengan pergaulan bebas. Mereka sangat kritis terhadap ajaran Islam yang disampaikan oleh para ulama, namun sangat lugu terhadap pemikiran liberal tokoh-tkokh Barat dan filsafat kiri pentolan-pentolan komunis. Mereka memuja-muja apapun yang dari non Muslim, dan menganggapnya sebagai trend modernisme. Sementara terhadap ajaran agamanya, mereka cenderung nyinyir, dan menganggapnya sebagai rongsokan budaya masa lalu. Kadangkala tokoh-tokoh mereka justru merupakan para mantan santri yang mungkin merasa sangat rugi, karena sebelumnya telah membuang-buang waktu dan energinya berada di pesantren.

Saya yakin kalian tahu bahwa cerita ini bukan sekadar kabar burung yang didramatisir. Sangat mungkin, kalian telah melihat sendiri bahwa kecenderungan itu nyata adanya, atau bahwa terjadi secara terbuka.

Hal ini jangan sampai terjadi kepada kalian. HMASS ini harus betul-betul menjadi wadah para akademisi santri yang mampu menunjukkan kepada publik bahwa pandangan hidup pesantren sangat cocok untuk dibawa ke dunia manapun. Bahwa santri-santri yang sejati bisa mewarnai sisi kehidupan apapun di negeri kita ini, dengan warna yang positif, teduh, bermartabat, dan religius.

Jika kalian teguh dan memiliki komitmen kuat dengan hal itu, insya Allah doa para Masyayikh akan terus menyertai kalian, di manapun kalian berada, di manapun kalian berkiprah. Semoga kalian semua dilindungi oleh Allah, dan terus tersambung dengan Sidogiri. Amin ya Rabbal Alamin.

Pasuruan, 3 Jumadal Ula 1439 H.

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan