santri-57aa1dd9f87a618b25f28e2d

Oleh: Rohmatullah Adny Asymuni*

Tanggal 22 Oktober 2015 merupakan hari bersejarah dalam kehidupan santri di bumi pertiwi. Pada tanggal itulah, Presiden Joko Widodo telah merestuinya sebagai “hari santri Nasional”. Penulis sebagai bagian dari kaum santri sangat mengapresiasi bahkan bersyukur sekali dengan diadakannya hari santri nasional. Hal demikian bisa dikatakan, pemerintah Indonesia mengakui eksistensi dan produktifitas dan kreativitas santri yang sebenarnya tidak kalah hebatnya dengan yang lain. Terbukti, sejak awal sebelum kemerdekaan Indonesia, peran kaum santri dalam membela kemerdekaan dan melawan penjajahan tidak bisa diragukan. Tokoh-tokoh NU (Nahdhatul Ulama), para kiai, santri dan masyarakat melebur menjadi satu melawan penjajahan demi tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia.
Banyak para Tokoh Nasional yang berbasis santri, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), KH Abdullah bin Nuh Bogor, dan sejumlah deretan ulama lainnya yang turut membela kemerdekaan dan peduli dengan bangsa dan negara.
Kaum santri dalam mengawal pancasila dan NKRI menjadi garda terdepan. Bahkan sebagaimana yang dikatakan oleh KH Ahmad Shiddiq, salah satu Tokoh NU: NU membela pancasila berdasarkan syariah bukan politik. Di sini terlihat, bahwa kaum santri sangat peduli dengan keberadaan Indonesia merdeka dan persatuan dalam bingkai NKRI.
Santri yang merupakan bagian dari masyarakat dan bangsa harus mampu mengaktualisasikan intelektualitas keilmuannya dan serta harus mampu membaca situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, santri yang setiap harinya berkutat dengan kalam-kalam wahyu ilahi, wejangan-wejangan Nabi Muhammad shollallahu ‘alahi wasallam dan petuah-petuah ulama harus tampil digarda terdepan dalam mengawal moralitas bangsa ini. Moralitas intelektual, moralitas pemikiran, moralitas perilaku (adab), moralitas sosial dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan santri harus berada digarda terdepan dalam mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam kaidah fiqih yang sering dibaca yang maknanya “Kebijakan seorang penguasa kepada rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan”. Sehingga setiap kebiSantri tidak boleh diam seribu bahasa atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Sebab diam dalam kemungkaran adalah setan yang membisu. Meski pengawalan terhadap kebijakan pemerintah tidak harus demo keluar jalan. Sebab mengawal kebijakan tidak mesti demo ke jalan. Tetapi santri bisa mengawal kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat dengan cara menulis gagasan di media-media pesantren dan media massa lainnya seperti koran, buletin dan semacamnya.
Santri sebagai pemuda bangsa harus mengambil peran ditengah modernitas dan pluralitas bangsa ini, ditengah degradasi moral yang semakin hari kian merosot. Peran santri  membangun moralitas dalam segala aspek dikehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam yang ramah, peduli sesama umat, berakhlak dan berbudi pekerti serta membuang jauh sifat hedonistik,  individualis dan apatis yang kesemuanya merupakan ciri-ciri bangsa yang sakit.
Maka dapat dipastikan,  jika ingin melihat moralitas bangsa yang baik atau sebaliknya lihatlah moralitas santri. Kalau moralitas santri terjadi dekandesi dan degradasi, dapat dipastikan moralitas bangsa lebih parah dan hancur. Sebab santri (kaum terpelajar) adalah cerminan moralitas bangsa. Seperti yang sudah maklum santrilah yang setiap hari mengenyam pendidikan moralitas, pendikan karakter dan revolusi mental, dikader sebagai pemimpin yang memiliki sifat yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenya, santri tetaplah jadi santri seumur hidup meski sudah tidak berada di lingkungan pesantren. Hakikat santri tidak terbatas oleh ruang dan waktu karena siapa pun yang bermoral seperti moralitas Kanjeng Nabi dialah santri sebenarnya.

*Rohmatullah Adny Asymuni, Kader Hmass Bogor

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan