cadar
Oleh: Ust Achyat Ahmad.
Ibnu Hisyām meriwayatkan dari ‘Abdullāh ibn Ja‘far ibn Miswar ibn Makhramah dari Abū ‘Uwānah, ia berkata, “Seorang perempuan Arab datang membawa barang dagangan untuk dijual di pasar (Yahudi) Bani Qainuqa’. Di situ ia menemui seorang pandai emas. Tiba-tiba, orang-orang di pasar Qainuqa’ menggoda perempuan itu, membuka cadar yang dikenakannya. Tentu saja perempuan itu membela diri dan menolak. Akhirnya, mereka melakukan cara-cara licik. Si pandai emas mengikat ujung kain perempuan itu. Ketika berdiri, kain yang ia kenakan terlepas. Orang-orang Yahudi Qainuqa’ ramai menertawakannya. Dan, perempuan Arab itu pun menjerit-jerit menahan malu. Pada saat itu, muncullah lelaki Muslim dan langsung menyerang si pandai emas hingga tewas. Karena si pandai emas itu adalah orang Yahudi, maka orang-orang Yahudi yang ada di situ balik mengeroyok si Muslim, sampai ia syahid. Setelah itu, berita pembunuhan itu tersebar luas. Umat Islam marah mendengarnya. Maka, meletuslah peperangan antara kaum muslimin dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Merekalah kaum Yahudi yang pertama melanggar perjanjian dengan Rasulullah SAW.”
Dalam riwayat yang dinukil Imam aṭ-Ṭabarī dan al-Wāqidī dinyatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada pertengahan bulan Syawal tahun kedua hijriah. Rasulullah SAW. memerintahkan agar Bani Qainuqa’ dikepung. Beberapa hari kemudian, Bani Qainuqa’ tunduk di bawah aturan Islam, dan mereka pun diusir keluar meninggalkan Madinah.
Hal yang pertama kali didiskusikan oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi setelah menguraikan secara ringkas peristiwa Yahudi Bani Qainuqa’ di atas adalah tentang prinsip aurat bagi Muslimah. Sebagaimana dijelaskan tadi, penyebab terjadinya konflik ini adalah tindakan salah seorang Yahudi yang ingin membuka paksa cadar wanita Arab ketika ia datang ke pasar Yahudi Bani Qainuqa’. Kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam itu tentu tidak serta-merta menafikan penyebab lain bagi terjadinya konflik itu, seperti diriwayatkan para perawi sirah Rasulullah SAW. yang lain, yaitu kedengkian orang-orang Yahudi yang amat mendalam terhadap kaum Muslimin, terutama setelah pasukan Islam berhasil meraih kemenangan gemilang dalam perang Badar Kubra.
Peristiwa di pasar Qainuqa’ itu menunjukkan bahwa perintah menutup aurat yang diwajibkan di dalam Islam mencakup bagian wajah. Jika tidak demikian, tentu perempuan Arab itu tidak perlu menutup wajahnya ketika datang ke pasar Qainuqa’. Selain itu, jika menutup wajah yang dilakukan perempuan Arab itu bukan bagian dari hukum agama Islam, orang-orang Yahudi tentu tidak akan memperlakukannya seperti itu. Sebab, mereka melakukan itu karena ingin memancing munculnya sentiment keagamaan.
Sebagian ulama menyatakan, kisah yang diriwayatkan Ibnu Hisyam itu –ia satu-satunya yang meriwayatkan peristiwa tersebut— mengandung kelemahan, sehingga tidak boleh dijadikan landasan hukum. Akan tetapi, ada banyak hadis lain yang menguatkan riwayat Ibnu Hisyam tersebut. Jadi, tak ada alasan untuk menyangkalnya.
Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī dari Sayyidah ‘Āisyah RA. dalam bab “Mā Yalbaṡul-Muḥrim minaṡ-Ṡiyāb” (Pakaian orang yang sedang ihram). Sayyidah ‘Āisyah RA. berkata, “Tidaklah patut seorang perempuan menutup bibirnya (mengenakan cadar), mengenakan burqah, mengenakan pakaian yang dicelup Wars dan memakai Za’faran.” (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, 3/146).
Senada dengan itu, adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Mālik dalam al-Muwaṭṭa’ yang bersumber dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh ibn ‘Umar berkata, “Seorang perempuan yang sedang melakukan ihram tidak boleh mengenakan cadar dan sarung tangan.” (Al-Muwaṭṭa’, 1/328).
Pertanyaan yang patut dikemukakan di sini adalah, mengapa perempuan yang sedang ihram dilarang mengenakan burqah atau cadar? Dan mengapa larangan itu hanya berlaku untuk kaum perempuan saja? Jawabannya jelas bahwa larangan itu menunjukkan kebiasaan kaum Muslimah pada saat itu. Mereka selalu mengenakan cadar atau menarik kain burqah hingga menutupi wajah mereka. Nah, kebiasaan inilah yang kemudian dilarang (sebagai pengecualian) untuk dilakukan pada saat ihram.
Hadis lain yang berhubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para imam hadis lainnya yang berasal dari Fāṭimah binti Qais. Ia menyatakan, ketika dicerai oleh suaminya, Rasulullah SAW. memerintahkannya untuk tinggal di kediaman Ummu Syuraik. Akan tetapi, Rasulullah SAW. kemudian mengirim orang kepada Fāṭimah binti Qais dan menyatakan bahwa perempuan janda itu (Fāṭimah binti Qais) tidak dapat terus tinggal di kediaman Ummu Syuraik, karena para sahabat Rasulullah SAW. sering mengunjungi rumah itu. Beliau meminta Fāṭimah binti Qais untuk tinggal di kediaman sepupunya yang bernama ‘Abdullāh ibn Ummi Maktūm RA. Sebagaimana diketahui, Ibnu Ummi Maktūm adalah seorang tunanetra (buta). Maka, tidak ada kekhawatiran jika Fāṭimah binti Qais melepaskan kerudungnya, Ibnu Ummi Maktūm akan melihat auratnya.
Demikian beberapa hadis yang mewajibkan perempuan menutup wajah dan bagian tubuh lainnya dari pandangan semua lelaki yang bukan mahram. Adapun dalil yang mengharamkan kaum laki-laki melihat aurat perempuan yang bukan mahram tentu teramat banyak. Di antaranya hadis riwayat Imam Aḥmad, Abū Dāwud, dan at-Tirmiżī dari Barīrah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepada Sayyidina ‘Alī ibn Abī Ṭālib RA., “Wahai ‘Alī, janganlah kau ikutkan pandangan (pada aurat perempuan bukan mahram) dengan pandangan berikutnya. Karena bagimu pandangan yang pertama, tetapi tidak dengan yang selanjutnya.”
Selain itu, sebuah hadis diriwayatkan oleh Imam aI-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās RA., bahwa di hari Naḥr Rasulullah SAW. berjalan, di belakangnya diikuti Faḍl ibn ‘Abbās RA. Selanjutnya, hadis ini menceritakan kisah perempuan Khaṡ‘amiyah. Pada saat itu, Faḍl memandang perempuan tersebut. Maka, Rasulullah SAW. segera menarik leher Faḍl dan memalingkan muka pemuda itu dari melihat perempuan tersebut.
Jadi, hadis-hadis tersebut di atas mengemukakan dua larangan sekaligus: 1) perempuan dilarang membuka wajah beserta anggota tubuh mereka yang lain di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya; dan 2) laki-laki dilarang melihat aurat perempuan. Hadis ini memuat dalil yang kuat, yang menyatakan bahwa wajah perempuan adalah aurat bagi laki-laki yang bukan mahram, kecuali dalam kondisi darurat, seperti ketika berobat, belajar, memberikan kesaksian, dan sebagainya.
Namun, ada sebagian imam mazhab yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah termasuk aurat wanita, sehingga kedua anggota badan tersebut tidak wajib ditutupi. Dalam hal ini, mereka memahami hadis-hadis yang diuraikan di atas (tentang kewajiban menutup wajah bagi perempuan) konsekwensi hukumnya sebatas sunah saja, tidak sampai wajib.
Namun kendati demikian, mereka semua (baik ulama yang mewajibkan menutup wajah maupun yang sekadar mensunahkannya) bersepakat menyatakan bahwa laki-laki dilarang melihat bagian tubuh mana pun dari wanita dengan syahwat. Mereka juga bersepakat menyatakan bahwa kaum wanita wajib menutup wajah mereka jika kefasikan sudah merajalela, atau ketika *sebagian besar laki-laki selalu memandangi wajah kaum wanita dengan syahwat yang diharamkan agama.*
Nah, jika kita memerhatikan kondisi kaum Muslimin saat ini; betapa kefasikan, kebejatan akhlak, dan dekadensi moral telah menyebar di mana-mana. Coba pikirkan baik-baik: ada berapa persen lelaki saat ini yang tidak tertarik memandang wajah perempuan? Bukankah kebanyakan lelaki saat ini selalu cenderung melihat wajah dan kecantikan wanita, baik di dunia nyata, di dunia maya, di layar kaca, dan di manapun? Jika demikian, tidakkah di zaman ini *sebagian besar laki-laki selalu memandangi wajah kaum wanita dengan syahwat yang diharamkan agama?.*
Maka, Anda tentu sepakat bahwa tidak ada lagi alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa perempuan sekadar “diperbolehkan” atau “disunahkan” menutupi wajahnya (memakai cadar). Inilah persoalan darurat yang sedang mengancam masyarakat Islam saat ini. Kita harus menyikapinya dengan penuh kehati-hatian. Kita harus memperketat penerapan hukum untuk menutup celah agar kaum Muslimin tidak sampai terperosok ke dalam jurang kebinasaan, sampai nanti mereka dapat kembali mengendalikan diri sendiri.
Singkat kata, mengikuti prinsip rukhsah atau mengambil hukum yang mudah (dalam hal ini menutup wajah adalah sunah) akan membuat orang terpeleset hingga megabaikan sesuatu yang pada dasarnya berhukum wajib (dalam hal ini menutup wajah adalah wajib), apabila masih belum ada *kondisi sosial keagamaan* yang bisa menjamin penerapan rukhsah itu tidak akan menjerumuskan orang pada pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat. (*Kondisi sosial keagamaan* itu dalam hal ini mayoritas masyarakat adalah orang-orang saleh dan minimnya orang-orang fasik yang suka memandang wanita bukan mahram dengan syahwat).
Sungguh mengherankan jika ada sebagian orang yang hanya memberlakukan kaedah “hukum dapat berubah seiring perubahan zaman” untuk melepaskan diri dari kewajiban dan hukum yang memberatkan, namun pada waktu yang bersamaan mereka tidak memberlakukan kaedah itu jika ia menuntut pada keadaan yang sebaliknya; yakni meninggalkan hukum yang mudah karena tak sesuai dengan keadaan zaman, menuju hukum yang memberatkannya karena lebih sesuai dengan keadaan zaman.
Karena itu, saya (Syaikh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi) tidak menemukan contoh yang lebih gamblang bagi mendesaknya penerapan kaedah “hukum dapat berubah seiring perubahan zaman” itu, melebihi kemendesakan untuk berpendapat wajibnya menutup wajah bagi orang perempuan, karena melihat zaman di mana kita berada saat ini, di mana acap kali terjadi keterpelesetan yang mestinya membuat kita semakin berhati-hati dalam melangkah, sambil memperhatikan betul di mana kaki kita berpijak, agar senantiasa sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT. bagi umat Islam.
* Tulisan ini disadur dari Fiqhus-Sirah karya Syaikh al-Buthi (167-170) dengan beberapa penyesuaian.
*Penulis adalah penulis buku-buku sidogiri penerbit

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan