maxresdefault

 

Memahami pesantren sebagai sebuah vitalitas perubahan di masyarakat tidaklah sama dengan memahami pesantren sebagai sebuah lembaga atau bahkan pesantren dalam bentuk fisik. Pesantren sebagai lembaga baru muncul kisaran tiga atau empat abad terakhir. Sedangkan pesantren sebagai tradisi yang menyangga bangunan peradaban Indonesia telah ada sejak tahun 1200.[1]

Itu artinya, selama 800 tahun pesantren telah wujud sebagai sebuah tradisi yang memberikan pandangan hidup bagi santri – yang saat itu lebih dominan merupakan masyarakat sekitar sang kiai. Pandangan hidup sebagai seorang santri ini mengakar dan dianut oleh tidak hanya santri dalam artian pelajar yang bermukim di pesantren, melainkan juga oleh santri dalam arti orang-orang yang belajar kepada sang kiai di tempat itu, baik saat pesantrennya telah menjadi sebuah lembaga dengan didirikannya asrama-asrama maupun sebelumnya. Ketika seorang kiai ‘belum’ resmi menjadi kiai (karena belum memiliki asrama atau lembaga), ia mengajarkan keilmuan (baca: tradisi) kepada masyarakat sekitar melalui berbagai macam model pendidikan ‘tak resmi’. Saat itulah ia menjadi kiai tanpa pondok dan tradisi yang diajarkannya adalah pesantren tanpa pondok. Pesantren tanpa pondok ini merupakan ajaran, tradisi, dan filosofi yang terakumulasikan melalui ilmu dan pandangan hidup sang kiai, yang biasanya diajarkan melalui model-model pendidikan di luar sekolah. Karena itulah membaca pesantren tidak bisa hanya dibaca melalui perubahan fisik atau kurikulum yang tertulis di lembaganya. Banyak tradisi pesantren yang justru diajarkan melalui kehidupan sehari-hari, baik yang diajarkan langsung oleh sang kiai maupun melalui tangan-tangan kanan beliau: keluarga, guru senior atau tokoh setempat.

Tidak heran Snouck Hurgronje menyatakan, “Faham Islam para kiai di Indonesia yang kelihatannya demikian statis dan kuat terpaku oleh pikiran-pikiran ulama abad pertengahan, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental; tetapi perubahan-perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, demikian rumit dan demikian tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pemikiran umat Islam Indonesia, perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa mereka lihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama.”[2]

Pesantren sebagai lembaga telah banyak mengalami perubahan. Realitas saat ini menunjukkan bahwa lembaga pesantren telah berkembang secara variatif baik dari isi (kurikulum) maupun bentuk (manajemen) serta struktur organisasinya. Sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan formal, beberapa pesantren mengalami perkembangan pada aspek manajemen, organisasi dan administrasi pengelolaan keuangan. Perkembangan ini dimulai dari pergeseran gaya kepemimpinan pesantren dari kharismatik ke rasionalistik (atau rasional-kharismatik), dari otoriter paternalistik ke diplomatik partisipatif, atau dari laissezfaireke demokratik.[3]

Dan tidak menutup kemungkinan, di masa mendatang, perubahan pesantren sebagai lembaga akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Mungkin saja akan bermunculan pesantren berbasis TQM yang penjaminan mutunya dijaga melalui standar-standar kualitas, baik melalui model formal maupun informal. Atau muncul ‘pesantren negeri’, pesantren yang merupakan afiliasi dari instansi pemerintah, sehingga puncak kepemimpinannya bukan dipegang oleh seorang atau beberapa kiai, melainkan dewan institusi pemerintah. Atau segala kemungkinan perkembangan lainnya. Entahlah.

Apalagi pesantren dilihat dalam bentuk ‘fisik’. Fisik di sini bukan hanya sarana prasarana semisal gedung atau fasilitas lainnya. Melainkan juga fisik berupa materi pelajaran, aksesoris seragam, dan segala hal yang memiliki bentuk, seperti badan koperasi pesantren dan kegiatan sehari-hari. Fisik pesantren ini juga banyak sekali mengalami perubahan dan perkembangan. Kajian tentang tipologi pondok pesantren bisa dikatakan kebanyakan berdasarkan pesantren fisiknya.

Tipologi yang diberlakukan pemerintah dengan membagi pesantren menjadi empat tipe sangat jelas merupakan tipologi yang berlandaskan bentuk fisik, karena tujuannya memang untuk memudahkan pemberian bantuan pondok pesantren. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 tentang Bantuan Kepada Pondok Pesantren, pesantren dibagi menjadi: a) Pondok pesantren tipe A yaitu pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional, b) Pondok pesantren tipe B yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi), c) Pondok pesantren tipe C yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama sedangkan santrinya belajar diluar, d) Pondok pesantren tipe D yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.[4]

Kafrawi yang juga sama dengan Zamakhsari Dhofier membagi pesantren menjadi empat tipologi berdasarkan sarana yang ada. Lalu Bahrie Ghozali membagi pesantren menjadi tiga berdasarkan sistem madrasahnya: tradisional, klasikal atau gabungan (komprehensif).[5] Sedangkan Wardi Bahtiar membagi pesantren menjadi dua juga berdasarkan sistem pengajarannya; salafi (tradisional dalam istilah Bahrie) dan khalafi (klasikal dalam istilah Bahrie).[6]

Semua tipologi di atas didasarkan pada bentuk fisik pesantren yang hal itu – tentu saja – akan terus berubah dan berkembang seiring perkembangan kebutuhan masyarakat. Bahkan bisa dikatakan saat ini perkembangan pesantren telah jauh melampaui tipologi-tipologi fisik di atas. Tipe komprehensif ala Bahrie telah di-‘salip kiri’ oleh wujud tipe pesantren yang ragamnya sangat banyak, misalnya salah satu pesantren di Lumajang yang menggabungkan sistem integrasi kurikulum antara sekolah formal dan madrasah diniyah[7], pesantren di Pamekasan yang mengembangkan pendidikan sistem takhassus[8], dan banyak pula pesantren yang mendirikan perguruan tinggi. Bahkan Telah ada pondok yang mementingkan kesehatan dan kebugaran dengan membangun gedung-gedung fasilitas kebugaran, misal Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan memiliki tempat latihan gym sendiri, atau dengan memasukkan kesehatan dan olah raga dalam kurikulumnya, seperti Pondok Pesantren Al-Ibrahimy, Gresik yang mengharuskan santrinya bermain sepak bola.

Itu semua menunjukkan pesantren secara fisik dan lembaga akan terus mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan caranya sendiri-sendiri dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.

 

Pesantren sebagai Tradisi

Menurut khazanah bahasa Indonesia, tradisi berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun-temurun dari nenek moyang,[9] ada pula yang menginformasikan,  bahwa tradisi berasal dari kata  traditium  yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan,diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang berdasarkan sumber tersebut jelaslah bahwa  inti  tradisi adalah warisan masa lalu yang dilestarikan terus hingga sekarang. Warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat-kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.[10]

Menurut Thontowi, makna dan fungsi tradisi baik  bagi individu maupun masyarakat  adalah:[11] 1) Sebagai penguat kehidupan beragama/ kesalehan, 2) Tradisi sebagai pendorong untuk berkreasi, 3) Tradisi sebagai ciri khas suatu komunitas/daerah, 4) Tradisi sebagai lapangan kerja/ sumber penghasilan, 5) Sebagai sarana pertemuan, 6) Sebagai penguat tali kekeluargaan/ keturunan seperti tradisi perkawinan antar keluarga, 7) Sebagai penguat tali nasionalisme, 8) Sebagai sarana untuk menaikkan status sosial, 9) Sebagai sarana menghegemoni masyarakat, 10) Sebagai penjaga tingkah laku dengan menjadikannya sebagai bagian dari keyakinan.

Dan dari itu, pesantren sebagai tradisi merupakan benang merah yang menghubungkan satu pesantren dengan pesantren lainnya. Pesantren sebagai tradisi ini juga merupakan platform bagaimana pesantren akan mengalami perkembangan di kemudian hari – tergantung situasi yang dihadapinya. Dan platform ini yang menjadi kesamaan antara sebuah pesantren di masa lalu, yaitu pertama kali didirikan atau bahkan sebelumnya, dengan pesantren yang sama di masa mendatang.

  1. Tradisi Filosofi Pesantren

Tradisi filosofi pesantren adalah tradisi konstruksi filosofi yang melandasi didirikannya sebuah pondok pesantren. Seperti halnya masjid yang didirikan atas asas ketakwaan (At Taubah : 108), pesantren pun dilatarbelakangi juga atas dasar ketakwaan, yakni upaya menjadikan umat agar menjalankan yang Allah perintahkan dan menjauhi yang Dia larang. Asas ketakwaan merupakan asas paling mendasar dari pesantren, baik sebagai asas pendirian sebuah pesantren, asas pengembangan pesantren, dan asas pendidikan pada sebuah pesantren.

Selain asas ketakwaan, pesantren juga memiliki dua unsur filosofis lain sebagai bentuk pelaksanaan filosofi ketakwaan d atas. Unsur lain ini didasarkan pada At Taubah ayat 122, yakni tafaqquh fi ad-dîn dan indzâr al-qaum.

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التوبة : 122]

Artinya, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk ber-tafaqquh fi ad-din dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Tafaqquh fi ad-dîn adalah upaya untuk menjadi pribadi yang berkarakter dan berilmu fiqh[12] yang di beberapa pesantren juga dikenal dengan istilah santri hakiki. Santri hakiki adalah makna santri sebagai tujuan filosofis, bukan sebagai istilah formil bagi seseorang yang mendaftarkan diri di pesantren. Santri hakiki adalah seseorang yang senantiasa berpegang teguh pada al-Quran dan Hadis, baik ucapan, pengamalan, dan tujuan pada setiap saat dalam hidupnya. Karakter tafaqquh fi ad-dîn ini digambarkan seperti air putih yang selalu dapat menjernihkan segalanya. Artinya seorang santri apapun nanti posisinya diharapkan menjadi seseorang yang senantiasa ‘menjernihkan’ dirinya dan lingkungannya – tentu dalam konteks ketakwaan. Proses ‘menjernihkan’ itulah yang merupakan bagian indzâr al-qaum yang dalam penerapannya disebut dakwah, baik secara personal maupun bersama.

 

  1. Tradisi Keilmuan Pesantren

Salaf adalah tiga generasi awal umat Islam yang disebut sebagai generasi terbaik sebagaimana Hadis riwayat Imam Turmudzi, Ibnu Majah, dan Abu Daud.[13] Dari salaf ini pesantren memiliki genealogi intelektual (sanad) yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Salaf tidak hanya menjadi contoh dalam satu bidang saja, melainkan semua dimensi salaf menjadi uswah yang dipegang pesantren, baik dalam perilaku (fikih), keyakinan (tauhid), dan spiritual (tasawuf), serta beberapa pengantar menuju tiga bidang pokok tersebut, seperti epistemologi (bagaimana ilmu dipelajari) dan aksiologi (bagaimana ilmu akan bermanfaat).

Sanad ini menjadi kriteria utama bagaimana konstruk pemikiran salaf akan dipahami orang pesantren, sehingga muncul istilah kutûb mu’tabarah dalam dunia pesantren, atau referensi-referensi yang dapat diterima sebagai bahan utama membangun pemahaman tentang Islam di pondok pesantren. Biasanya kutûb mu’tabarah ini dikenal dengan istilah kitab kuning yang kemudian dikaji mulai sejak awal hingga saat ini dengan berbagai metode kajian, seperti sorogan, bandongan, wetonan, dan bahtsul masail.[14]

Selain metode-metode tersebut ada salah satu yang unik, yaitu metode utawi iku. Metode utawi iku bukan hanya sekedar metode transliterasi atau pengalihan bahasa dari bahasa arab ke bahasa Jawa. Tapi metode utawi iku adalah upaya agar transliterasi pemahaman tidak banyak mengalami reduksi dari apa yang diinginkan oleh penulis pada teks yang dipelajari.

Metode utawi iku memiliki fungsi pembiasaan pemahaman dari partikel ide terkecil, sehingga ketepatan pemahaman terhadap teks dapat dijaga dan dipahami secara mengena.  Hal ini dilakukan dengan cara mengetahui status masing-masing kata dalam sebuah susunan. Karena itu di pesantren salah satu keilmuan paling mendasar adalah ilmu nahwu (sintax) dan ilmu sharaf (morfologi). Kedua ilmu ini diajarkan di jenjang paling dasar bukan hanya karena untuk mempelajari bahasa Arab, baik sebagai ilmu atau sebagai alat komunikasi, melainkan untuk membekali santri dasar-dasar metode utawi iku, sehingga dia akan mampu membangun keilmuannya melalui prinsip prisma (dari partikel ide terkecil menuju pemahaman mayor yang selanjutnya menimbulkan kesimpulan minor). Meskipun pada jenjang berikutnya kedua ilmu ini terus dipelajari secara mendalam dengan tujuan kajian bahasa sebagai ilmu atau bahkan sebagai alat komunikasi.

 

  1. Tradisi Amaliyah Pesantren

Tradisi amaliyah atau tradisi perilaku aktivitas santri pada setiap pondok pesantren sangatlah beragam. Sehingga tidak heran jika ada yang berkata, “Jika ada seribu pesantren, maka akan ada seribu model.” Di beberapa pesantren diadakan pembacaan pujian sebelum shalat. Ada pula membaca nadzam burdah al-Bushiri sambil mengelilingi area pesantren. Juga ada pembacaan istighatsah, kegiatan lalaran, takrir nadzam, dan lain sebagainya. Meski demikian, keberagaman amaliyah pesantren tersebut tetap saja mengacu pada benang merah yang sama, yakni ilmiah dan spiritual yang saling berkaitan. Artinya kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya dianggap sebagai amal ibadah guna mendapatkan pahala atau syafaat Nabi saw (spiritual), melainkan juga dipandang sebagai salah satu bentuk ‘belajar’ ilmu hati (ilmiah), yang dalam istilah pesantren dikenal dengan tirakat atau riyadhah.[15]

Tirakat adalah upaya menarik ilmu hati dengan cara menyucikan hati dari sifat buruk, menghiasi dengan sifat baik, membiasakan diri dengan amal baik, mengekang hawa nafsu, dan menjalin hubungan spiritual dengan sang guru. Maka tidak heran jika ada seorang santri yang melakukan puasa mutih, yakni puasa dengan hanya makan nasi putih. Menariknya puasa ini dilakukan bukan hanya untuk amal ibadah, melainkan juga untuk nirakati ilmu yang dimilikinya agar menjadi ilmu yang bermanfaat dan berkah.

Demikian. Pesantren sebagai tradisi merupakan tema yang tentu masih perlu dilakukan pembahasan dan analisa lebih mendalam. Keragaman pesantren – dari berbagai segi – merupakan samudera yang masih menyisakan banyak tanda tanya untuk dipahami, tidak hanya bagi orang luar pesantren, melainkan juga bagi orang pesantren sendiri yang mencoba mencari benang merah dan ruh kesamaan pesantren-pesantren. Wallahu a’lam.

 

Penulis: Ust Biyadi Busyral Basyar

 

 

[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. iii, Jakarta: LP3ES, 2015.

[2] Snouck Hurgronje, dikutip dari Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 5.

[3] Sulthon Masyhud, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, hal. 15, Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

[4] Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan Dan Perkembangannya (Depag RI, 2003), hlm15-16

[5] M. Bahri Ghozali, Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: Prasasti, 2002), hlm. 14-15

[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), hlm. 193-194

[7] Yaitu Pondok Pesantren Kiai Syarifuddin, di mana penulis pernah berdialog dengan salah satu gus di sana. Beliau menuturkan ide integrasi kurikulum yang sedang dikembangkan ini, meski ide ini  masih dalam tahap pengembangan.

[8] Yaitu Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata dengan program Maktuba. Program ini menerapkan sistem takhassus, yakni sistem klasikal berbasis disiplin ilmu.

[9] Mengutip dari WJB. Purwadarminta,  Kamus Umum Bahasa Indonesia  (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1982), hlm. 108.

[10] Imam Bawani, Tradisionalisme (Surabaya:al-Ikhlas, 1993), hlm. 36-42.

[11] Thontowi, Pendidikan dan Tradisi; Menakar Tradisi Pendidikan Pesantren dalam Jurnal Tadrîs. Volume 3. Nomor 2. 2008, hal. 155.

[12] Fiqh sebelum menjadi nama sebuah disiplin ilmu, bermakna ilmu tentang cara selamat di akhirat. Lihat: Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 9. Lihat juga pendapat Imam Abu Hanifah dalam: Ibrahim bin Ismail az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Thariq at-Ta’allum, hal. 6, Surabaya: al-Hidayah, tt.

[13] Tentang salaf lihat: Said Ramadan al-Bouti, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah la Madzhab Islami, hal. 17-31, Damaskus: Dar al-Fikr, 2010.

[14] Masing-masing dari metode ini memiliki titik tekan dan kelebihan tersendiri. Lihat: M. Bahri Ghozali, Pesantren…, hlm.29, Abdurrahman Shaleh, dkk. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren (Depag RI, 1982), hlm.11, salah satunya adalah bahtsul masail yang merupakan kajian kitab kuning yang tertinggi di pesantren, karena pada bahtsul masail dilakukan uji analisis dengan berbagai metode, seperti ilhaq, tajribah, dan silogisme.

[15] Dalam literatur keislaman, khususnya tasawuf istilah riyadhah searti dengan mujahadah. Proses riyadhah ini mengikuti pendapat al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan Lisanuddin al-Khatib yang menjelaskan bahwa ilmu dibagi menjadi dua: ilmu lahir dan ilmu batin. Ilmu batin dapat diperoleh dengan proses-proses yang disebut riyadhah. Lihat: Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 9, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002, Ibnu Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, vol. 1, hal. 282, Maktaba Syamela v 3.1, Lisanuddin al-Khatib, Raudhah at-Ta’rif bil Hubb as-Syarif, hal. 487, Kaero: Dar al-Fikr al-Arabi, 1966.

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan