2928574_48a5eeaf-0615-408d-bf30-5abb3bbb6f8e

Oleh: Ahmad Biyadi*

Apakah makna dari sebuah kata bersifat statis? Ataukah makna tersebut bergerak dinamis sehingga kata pada suatu masa berbeda maknanya di masa yang lain?

Mengenai pertanyaan di atas, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin memaparkan fenomena ini. Beliau memaparkan lima kata kunci yang terjadi pergeseran makna sejak awal Islam. Pergeseran makna kata ini menyebabkan perbedaan perilaku secara fundamental. Kata-kata tersebut di antaranya adalah:

  1. Fikih yang awalnya bermakna memahami kehidupan sufi (thariq al-akhirah) serta mengenal secara mendalam mengenai diri dan nafsu. Lalu maknya mengkerdil menjadi ilmu soal fatwa hukum, lebih-lebih tentang kasus-kasus fikih detail.
  2. Ilmu, awalnya artinya adalah mengenal Allah swt, tanda kebesaran-Nya, serta kekuasaan-Nya terhadap makhluk. Lalu mewujud menjadi suatu karakter mampu berdebat dan berdiskusi panjang dalam soal fikih.
  3. Tauhid, dulu artinya adalah pemahaman bahwa segala sesuatu berasal dari Allah swt. Kemudian berganti menjadi kemampuan logika dan retorika dalam menyusun data pendapat.
  4. Dzikir, yaitu majlis mengingatkan orang untuk kembali kepada Allah swt, merenungi mati, dan mengingatkan soal bahaya nafsu dan syetan. Kemudian berganti menjadi majlis tempat penceramah bercerita banyak hal dengan penambahan atau pengurangan pada ceritanya.
  5. Hikmah, awalnya bermakna pemahaman yang tepat dan bijak dalam segala sesuatu. Lalu mengkerdil menjadi kemampuan yang dimiliki oleh pakar, ahli kedokteran, penyair, sastrawan, atau bahkan ahli astrologi.

Bayangkan bila satu saja kata kunci dalam Islam bergeser makna. Hal itu menyebabkan perubahan paradigma besar dalam pemahaman umat Islam. Jika belajar ilmu yang pada awalnya bermakna menata diri dengan ilmu jalan kesufian mewujud menjadi hanya “belajar di sekolah” atau “membaca pelajaran mata kuliah”. Tentu sebuah perubahan besar yang ironis. Mengingat belajar ilmu merupakan aktivitas yang sangat dijunjung tinggi dalam agama Islam.

Perbedaan pendapat yang berujung pada kekacauan umat Islam tidak sedikit berawal dari fenomena ini. Makna jihad yang luas, mengkerdil menjadi perang fisik, maka muncullah teroris atas nama agama. Tafsir yang artinya upaya menjelaskan makna al-Quran, mewujud menjadi upaya menyimpulkan hukum dari al-Quran. Padahal upaya penyimpulan hukum sejatinya adalah proses istinbat atau ijtihad. Istinbat dan tafsir memiliki makna yang berbeda, karena istinbat haruslah ditopang dengan berbagai ilmu lain, tidak hanya ilmu al-Quran.

Pengkerdilan makna tidak hanya terjadi pada kata kunci Islam. Mondok yang dulu syarat dengan nilai-nilai kesufian dan kearifan, mewujud menjadi proses mendaftarkan diri di pesantren saja dan kering dari nilai-nilai. Perayaan hari besar Islam dengan arti mengagungkannya (baca al-Hajj: 32), justru bergeser menjadi perayaan aneh dan mungkin juga tidak disahkan dalam ajaran Islam sendiri. Idul Fitri dirayakan dengan tamasya kesana kemari hepi-hepi. Bulan Maulid yang asalnya adalah mengagungkan hari lahir beliau, dirayakan dengan sorak-sorai berjoget ria di jalanan. Aneh, benar-benar aneh.

Syed Naquib al-Attas adalah tokoh kekinian yang sangat peduli hal ini. Sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai Ghazaliy Hadza Zaman (Imam Ghazali untuk era sekarang). Karena beliau menekankan pentingnya merujuk kembali kata kunci Islam kembali pada makna awal. Yakni merujuk pada kamus yang disusun dengan rujukan al-Quran dan Hadis. Selain tentu pula dengan membaca sirah dan biografi ulama terdahulu. Itu agar mengikuti ulama terdahulu tidak hanya pada kata, tapi juga makna. []

*Penulis adalah Anggota Hmass Sidogiri yang sedang menempuh jenjang S2

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan