IMG-20170421-WA0010
Oleh: M. Syamsul Arifin Munawwir*
Allah swt telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Allah swt juga telah mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menuntut Kartini. Akan tetapi, dalam sejarahnya, kesempatan perempuan untuk mendapat pendidikan tidak secepat kesempatan untuk laki-laki. Terutama di zaman Jahiliah dan di zaman penjajahan. Saat ini, kesempatan perempuan untuk mendapat pendidikan telah terbuka lebar. Hal ini tak lepas dari usaha para pahlawan perempuan seperti Ibu R.A. Kartini, yang hari lahirnya–21 April–menjadi salah satu hari besar Indonesia.
Pendidikan Perempuan Indonesia
Ketika penjajah Belanda masih berkuasa di Indonesia, kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan begitu terbatas. Kungkungan adat saat itu membuat perempuan tak dapat berharap banyak untuk mendapat pendidikan sebagaimana kaum laki-laki. Di sisi lain, pendidikan yang tersedia pun masih dikhususkan bagi anak-anak Belanda dan kaum ningrat, bukan untuk masyarakat umum. Praktis mayoritas rakyat tidak memperoleh pendidikan yang cukup, sehingga kehidupan dan pemikiran mereka masih terhegemoni oleh penjajah.
Setelah munculnya kebijakan politik etis dari Belanda untuk memberikan pendidikan bagi rakyat pribumi, dan semakin merebaknya kesadaran akan pentingnya pendidikan, maka para tokoh intelektual Indonesia terdorong untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta, misalnya Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959).
Para tokoh perempuan juga tak ketinggalan mendirikan sekolah-sekolah perempuan. R.A. Kartini (1879-1904) mendirikan sekolah perempuan di Jepara dan Rembang, Raden Dewi Sartika (1884-1947) mendirikan “Sekolah Istri” yang kemudian berganti nama “Sekolah Keutamaan Istri” di Bandung, Maria Walanda Maramis (1872-1924) mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) di Sulawesi Utara, yang menyediakan pendidikan lanjutan bagi perempuan yang telah menyelesaikan pendidikan dasar, dan H Rasuna Said (1910-1965) mendirikan Sekolah Thawalib di Sumatera Barat bagi para perempuan muda sebelum memasuki perkawinan.
Pendidikan khusus untuk perempuan perlu didirikan setidaknya karena dua alasan utama. Pertama, perempuan memerlukan pendidikan untuk dirinya sendiri. Dengan pendidikan itu, ia akan berpengetahuan, berpandangan luas, dan lebih siap menghadapi hidup. Kedua, perempuan adalah pendidik bagi anak-anaknya. Semakin baik pendidikan perempuan, semakin baik ia dalam mendidik anak-anaknya. Dalam hal ini, Kartini prihatin pada rendahnya pendidikan para ibu. Dalam salah satu suratnya, ia mengatakan, “bagaimana ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah ia dipersalahkan bahwa dia merusak anaknya, merusak masa depan yang disebabkan oleh kelemahan dan kebodohannya?”
Empat Pengetahuan
Perempuan, sebagaimana laki-laki, butuh pendidikan. Dan perempuan, sebagaimana laki-laki, juga butuh pengetahuan khusus yang terkait dengan kebutuhannya. Setidaknya ada empat pengetahuan yang dibutuhkan oleh perempuan.
Pertama, pengetahuan agama. Pengetahuan agama dibutuhkan karena selama hidupnya–sebagaimana halnya laki-laki–perempuan tak bisa lepas dari tuntutan dan tuntunan agama. Bahkan dalam beberapa hal perempuan memiliki ketentuan-ketentuan istimewa. Di antaranya dalam masalah haid, nifas, menyusui, dan tata cara ibadah. Semua itu tak lepas dari tuntunan agama. Karena itulah, perempuan perlu pengetahuan agama.
Pendidikan dasar agama bisa didapat dari orangtua, TPQ, madrasah, pesantren, surau, maupun majlis taklim. Pendidikan dasar agama yang dibutuhkan seperti ilmu Tauhid; tata cara salat, bersuci, dan yang terkait; mengaji al-Qur’an; tuntunan seputar menstruasi; dan akhlak yang utama. Sedangkan pendidikan lanjutan agama hanya bisa didapat dengan sempurna dengan belajar di pesantren.
Kedua, pengetahuan umum. Pengetahuan umum yang dibutuhkan terutama ilmu-ilmu mendasar yang dibutuhkan dalam hidup di zaman modern ini, seperti baca-tulis dan berhitung. Selain itu, ilmu-ilmu pengetahuan lainnya seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah juga perlu diketahui.
Sampai saat ini, jumlah perempuan Indonesia yang buta huruf masih besar, dan lebih banyak daripada jumlah laki-laki yang buta huruf. Dalam hal ini, benarlah Ann Hartfiel, “Jika ada kemiskinan di sebuah negeri, maka perempuanlah kelompok yang paling miskin, jika ada kelompok buta huruf, maka perempuanlah yang banyak buta huruf.” Di Jakarta saja, cukup banyak perempuan yang buta huruf–terutama di daerah slum area atau daerah-daerah miskin kota–apalagi di desa-desa.
Ketiga, keterampilan rumah tangga. Inilah yang sering terlupakan oleh perempuan masa sekarang, padahal sekolah-sekolah yang didirikan para pahlawan perempuan mengajarkannya. Di sekolah yang didirikan Kartini diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Di “Sekolah Istri” yang didirikan Dewi Sartika pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan minimal seorang istri yang baik, seperti membaca, menulis, berhitung, menjahit, merenda, menyulam, disamping pelajaran agama dan budi pekerti.
Sekolah Thawalib yang didirikan Rasuna Said, disamping memberi pelajaran agama sebagai dasar kehidupan, juga memberikan Kursus Keputrian dengan aneka keterampilan yang menyertainya. Dan organisasi PIKAT yang didirikan Maria Walanda Maramis memberi pelajaran memasak, menjahit, kebersihan lingkungan rumah, merawat bayi, dan keterampilan/kerajinan tangan. (Y.B Sudarmanto, 1992)
Dan keempat, pengetahuan tambahan yang berkelanjutan. Pengetahuan tambahan ini dapat diperoleh dengan banyak membaca buku dan media massa, mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, dan sebagainya. Ketika berada dalam pingitan setelah bersekolah dasar, Kartini banyak membaca buku, koran, dan majalah. Ia juga banyak menulis surat pada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Dari banyak membaca, pemikiran Kartini terus berkembang, sehingga timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi dan timbul kesadarannya akan perlunya nasionalisme rakyat, yang saat itu ia sebut “kesetiakawanan”. Pemikirannya itu lebih awal daripada pidato dan tulisan Soekarno dan Hatta.
Selain itu, Kartini berjasa dalam memberi inspirasi penerjemahan al-Qur’an, yang belum ada waktu itu. Cucu Kiai Haji Mardiono dan Nyai Siti Aminah itu telah menginspirasi Kiai Sholeh Darat–seorang ulama besar dari Darat, Semarang–untuk menerjemah al-Qur’an. Berkat pertemuannya dengan Kartini setelah pengajian, Kiai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan al-Qur’an ke bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kiai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan al-Qur’an (Faizhur-Rahman fî Tafsîril-Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz. Tapi sayang, tak lama setelah itu, Kiai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan terjemahan al-Qur’annya. (Ida S. Widayanti, Suara Hidayatullah: April 2001).
Perempuan sebagai Pendidik
Di zaman sekarang, perempuan perlu pendidikan yang cukup. Dan bila memungkinkan, juga perlu pendidikan yang tinggi, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Namun perempuan diharapkan tetap menyadari kodratnya dan mengutamakan tugasnya mendidik anak sebagai generasi harapan bangsa. Perempuan perlu mewaspadai tipudaya kaum feminis yang berusaha membangkitkan permusuhan dengan kaum laki-laki, dan menjauhkannya dari suami dan anak-anaknya.
Sebagaimana diungkap Vita Sarasi (dalam pengajian kewanitaan online PIP-PKS Jerman, 20 April 2007), setelah Kartini mendapatkan hidayah usai mengikuti pengajian tafsir Kiai Sholeh Darat, ia bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu.
Karena itulah Kartini menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.“ (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902). []
*M. Syamsul Arifin Munawwir adalah penulis buku Islam Indonesia di Mata Santri, Ketua PP HMASS (Harakah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri.

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan