images

DI beberapa ruangan, para santri jenjang aliah tampak khidmat menyimak pembacaan kitab kuning yang disampaikan kiai. Mereka kemudian menuliskan makna atau tafsir dari bacaan itu.

Di ruang lain terdengar lantunan ayat-ayat suci Alquran. Sejumlah santri duduk bersila di tikar sambil menyimak rekan mereka mengaji. Suasana di Pondok Pesantren Sidogiri yang berlokasi di Desa Sidogiri, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, pada Jumat sore (3/7)  itu tampak ramai menjelang berbuka puasa.

Ponpes Sidogiri merupakan pesantren tradisional tertua di Indonesia. Ponpes Sidogiri didirikan Say­yid Sulaiman pada 1745. Jumlah santri yang mondok mencapai 13 ribu orang dan menjadikan Ponpes Sidogiri salah satu pesantren terbesar di Indonesia.  Wakil Ketua Umum Ponpes Sidogiri KH Nawawy Sadoellah mengungkapkan Ponpes Sidogiri masih memegang prinsip dan budaya pesantren kuno yang mempelajari kitab kuning (salaf).

“Tugas para santri ialah menuntut ilmu dengan mengkaji kitab-kitab kuning. Jenjang pendidikannya dilangsungkan dalam pola klasikal, mulai jenjang ibtidaiah untuk kelas pagi, siangnya untuk sanawiah, dan sore untuk aliah,” terang Nawawy.

Mereka belajar ilmu keagamaan mulai tafsir, fikih, bahasa, nahu, saraf, tauhid, dan moral dalam berakhlakul karimah. Pola klasikal yang digunakan untuk kajian kitab kuning yakni bandongan atau wetonon untuk santri jenjang ibtidaiah. Pengajar atau kiai membaca kitab kuning dan menerangkan secara detail, sedangkan para santri memurodi atau menuliskan makna atau tafsir dari kitab kuning yang dibaca kiai.

Di Ponpes Sidogiri, para santri tidak melulu belajar kitab kuning. Mereka juga sudah digembleng menjadi pengusaha termasuk penguasaan teknologi. “Banyak ekstrakulikulernya untuk santri. Mereka mendapatkan banyak materi mulai menulis, penguasaan teknologi, hingga grafika,” terang Sekretaris Umum Ponpes Sidogiri Ustaz A Saifulloh Naji.

Di balik bilik-bilik asrama di lingkungan pesan­tren asuhan KH Nawawi Abd Jalil itu, para santri mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan mereka. “Selain menimba ilmu di pesantren, mereka harus terjun ke masyarakat sebagai pendakwah ataupun aktivitas usaha,” tambah Saifulloh.

– Sumber mediaindonesia.com

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan