sungai wangi
Hari Kamis tanggal 10 bulan Dzul Qadah 1366 H./26 September 1947 M. pukul 03.30 dini hari, serdadu Belanda sampai di Sidogiri dan langsung mengepung rapat pondok pesantren tua ini. Pasukan Hizbullah sempat melakukan perlawanan dan terlibat baku tembak. Saat hampir Subuh Belanda berhasil menerobos masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri dan mendatangi Kiai Djalil yang saat itu bersama para pengawalnya. Belanda menanyakan di mana Kiai Sa’doellah. “Saya tidak tahu! Di sini saya hanya diserahi untuk mengajar santri,” jawab Kiai Djalil mantap.
Penasaran, pasukan Belanda memaksa Kiai Djalil ikut dijadikan tawanan. Kiai menolak, tidak mau mengikuti ajakan mereka. Terjadi perdebatan sengit kemudian. Karena sudah masuk waktu Subuh Kiai ingin mengatakan masih ingin salat Subuh terlebih dahulu. Selesai salat, Kiai langsung menuju halaman di sana tentara Belanda telah menunggu. Kiai Djalil keluar dari masjid dengan membawa buntalan yang berisi al-Qur’an dan kitab. Melihat Kiai Djalil membawa buntalan, Belanda memaksa agar menyerahkan buntalan itu, sebab Belanda curiga yang dibawa Kiai Djalil adalah dokumen penting milik Kiai Sa’doellah. “Jangan sentuh buntalan itu! Kamu najis memegangnya,” bentak Kiai Djalil garang.
Kiai djalil memang mempunyai firasat tidak enak pada Belanda. Bahkan Kiai pernah bilang, “Le’ londo mlebbu, Islam payah (Kalau Belanda sampai masuk ke sini, Islam payah)”. Sehingga beliau sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam beliau menyelinapkan kris di balik bajunya. Ketika Belanda dengan paksa merampas buntalan yang berisi al-Qur’an dan kitab itu, Kiai Djalil marah dan melakukan perlawanan.
Maka terjadilah pertempuran tidak seimbang antara Kiai Djalil yang ditemani bebarapa santri yang menjadi pengawalnya melawan Belanda yang jumlahnya banyak dan bersenjata lengkap. Beberapa serdadu Belanda tewas tersungkur. Tapi tidak lama berselang, semua pengawal Kiai Djalil gugur tertembak. Belanda sendiri kewalahan menghadapi Kiai Djalil yang ternyata tidak mempan ditembak, meskipun diberondong. Sampai akhirnya dengan kemarahan yang sangat memuncak, mereka berhasil menangkap Kiai Djalil dan dengan beringas menembakkan peluru ke mulut beliau. Dor…! Dor…! Dor…! Suara tembakan terdengar sampai puluhan kali. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau akhirnya gugur sebagai syahid.
Kekejaman Belanda tidak cukup sampai di situ. Jenazah Kiai Djalil siseret dan dibuang di sungai Sidogiri sebelah barat. Konon, tetesan darah Kiai membuat air sungai saat itu harum semerbak. Jenazah Kiai Djalil ini baru ditemukan sekitar jam 09.00 oleh khadam beliau bernama Dlofir (Sukerejo Situbondo).
Kiai Djalil wafat tepat pasa hari Kamis tanggal 10 Dzul Qadah 1366 H atau 26 September 1947 M sekitar pukul 06.00 pagi hari. Beliau dimakamkan di areal pemakaman keluarga Sidogiri. Sedangkan beberapa orang pengawal beliau dimakamkan di samping masjid bagian utara (dekat jeding masjid).
Kiai Djalil adalah satu dari sekian ribu ulama yang menjadi korban kebiadaban Belanda. Disini, kiranya penting kita kutip pernyataan jujur seorang jenderal Belanda yang memimpin agresi tersebut. “Andaikan tidak ada ulama-ulama atau kiai-kiai kolot dan ortodoks (baca: Pesantren), Negara Indonesia tidak mungkin meraih kemerdekaan.” Allahu Akbar!
====================

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan