seimbang

Oleh: M. Cholil Nafis, Lc., Ph D*

Pada suatu malam, Mu’ad bin Jabal shalat Isya’ di Masjid al-Haram bersama Rasulullah saw. kemudian ia pergi ke Quba’ untuk menjadi imam shalat dengan masyarakat. Saat sahabat Mu’ad shalat ada seorang pekerja lewat dan ia langsung shalat berjemaah bersama sahabat Mu’ad dan masyarakat. Nah saat itu Sahabat Mu’at membaca surat Al Baqarah, sehingga bacaannya panjang dan shalatnya lama.
Kemudian sang pekerja itu memilih memisahkan diri dari jema’ah shalat (mufaraqah) dan meneruskan shalatnua sendirian. Alasannya sederhena karena dia kecapean kerja seharian dan esokny harus berangkat kerja lagi. Namun persepsi publik lain, krn yg biasanya yang keluar dari jema’ah itu orang munafik maka sang pekerja itu dicap sebagai orang munafik. Desas desus itu sampai kepada Rasulullah saw.
Kemudian Nabi saw memanggil sahabat Mu’ad bin Jabal. Beliau sangat marah dan mengatakan kepada sahabat Mu’ad: Apakah engkau hendak membuat kerusakan (afattanun anta ya Mu’ad). Pernyataan itu diulang tiga kali. Ternyata Nani marah karena shalatnya sahabat Mu’ad yang terlalu lama sementara di belakangnya ada sebagian ma’mumnya yang punya hajat, tak kuat berdiri lama atau orang tua.
Maka Rasulullah saw. mengajari sahabat Mu’ad agar kalau shalat jadi imam cukuplah baca al-Fatihah dan surat pendek seperti surat al-Dhuha, surat al-A’la atau surat al-Syams agar orang-orang yg  berjemaah dapat menjalankan dengan khusyu’ dan tak memberatkan.
Hikmah dari cerita hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yanh diriwayykan dari Jabir bin Abdillah ini menunjukkan dua hal, yaitu dari sisi fikih dan dari etika beragama di bermasyarakat. Pertama, secara fikih seseorang dapat memisahkan (mufaraqah) dari berjemaah dan menyempurnakan shalatnya sendirian tanpa memulai dari awal, baik karena ada alasan syar’i atau tidak ada hajat hukumnya sah.
Kedua, secara etika orang beragama itu tak hanya diukur dari rasa semangat yang dirasakan oleh diri sendiri, baik sebagai imam atau pemimpin. Seseorang yang hendak menjalankan agama secara bersama-sama dalam kontek ibadah atau berjemaah dalam kontek masyarakat dan negara harus tahu kondisi masyarakatnya. Jangan sampai memberlakukan hukum dan praktek keagamaan yang sifatnya hanya anjuran tapi seakan-akan wajib dan mungkin cenderung memaksakan. Jangan sampai beragama menjadi penghalang untuk membangun keakraban dalam pergaulan.
Fenome yang jamak kita jumpai di masyarakat, imam shalat membaca ayat-ayat yang panjang yang tak tuntas dalam satu surat, bahkan hanya di penggal di tengan surat saja. Padahal yang baik adalah melaksanakan shalat itu menyesuaikan dengan kondisi para ma’mumnya dan bacaat ayatnyabtuntas dalam satu surat. Anehnya, sang imam itu kadang kalau shalat sendirian malah cepat dan singkat. Yang baik itu, melaksanakan shalat berjemaah yang sedang saja, namu ketika shalat sendiran dipersilahkan untuk membaca surat yang panjang dan shalat yang lama.
Khutbah Jum’at acapkali panjang sekali dan shalatnya sebentar. Padahal Rasulullah saw mengajarkan agar khutbah itu baiknya pendek saja asal isinya komprehensif dan mudah dipahami. Kita paham, bahwa jemaah yang melaksanakan shalat jum’at harus bisa membagi waktu antara ibadah, istirahat dan makan siang.
Kadang kita jumpai dalam keberagamaan yang hubungannya dengan masyarakat dan kebangsaan mempersulit dan mempersempit makna agama. Kadang berpikir bahwa negara Islam itu hanya kalau berbentuk khilafah, atau memaknai kewajiban agama hanya dalam kontek undang-undang syariat Islam dalam suatu negara meskipun warganya heterogen. Padahal Al Qur’an dan al-Hadits tak mematok model dan sistem negara tertentu.
Islam berpesan agar agama menjadi landasan dalam menegakkan keadilan, sementara model negaranya diserahkan kepada ijtihad manusia. Agama Islam mengamanahkan agar negara dapat menjamin keadilan dan kebebasan memeluk dan manjelankan ajaran agamanya masing tanpa merendahkan agama lain.
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan berdiri di atas pilar Nehara Kesatuan Republik Indonesia, Undanga-undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah negara Islam. Sistem negara Indonesia ini mirip dengan negara Madinah yang termaktub dalam Piagam Madinah.
Inilah ajaran Islam yang sebenarnya membawa kemudahan, kedamaian dan kebahagiaan. Ber-Islam yang baik itu ketikan mengikuti paham Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja). Yaitu beragama Islam sewajarnya saja. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Penulis adalah Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat
Ketua Prodi  Kajian Timur Tengah dan Islam Sekolah Global dan Stratejik Universitas Indonesia.

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan