IMG_20170418_203721
Melihat fenomena pemilihan pemimpin daerah (pilkada) yang semakin hari semakin kuat gesekannya. Pemilihan daerah yang sejatinya hanya memilih pemimpin atau menentukan orang yang akan memimpin daerah tersebut selama lima tahun, akan tetapi tidak seperti itu kenyatannya. Banyak hal yang semakin meruncing pada urusan akidah, sehingga tidak hanya terfokus pada memilih pasangan calon, namun sudah terkait dengan masa depan akidah umat.

Pemilihan gubernur DKI Jakarta sekarang sudah memasuki tahap putaran kedua, antara Anies-Sandi dan petahana Ahok-Djarot. Kedua pasangan calon ini telah lolos dari pemilihan putaran pertama dan akan memasuki pencoblosan putaran kedua pada 19 April.

Salah satu calon gubernur, Ahok, telah menjadi terdakwa kasus penistaan agama dan menjalani persidangan di pengadilan. Ia didakwa dengan pasal alternatif, yaitu Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Pasal 156 KUHP, barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangasaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sedangkan menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Dalam perjalanannya, muncul banyak protes dari umat Islam, pengamat, dan sejumlah tokoh, berkaitan dengan tidak ditahannya Ahok sesuai Pasal 21 KUHP, padahal sudah menjadi tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Muncul pula protes karena ia juga tak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai kepala daerah yang berstatus terdakwa, sesuai dengan Pasal 83 UU No 23 tahun 2014.
Berlarutnya kasus ini menimbulkan perdebatan termasuk di sosial media. Muncul kasus penistaan agama lainnya, seperti yang dilakukan Anthony Hutapea di Medan.
Kasus penistaan agama Ahok dan segala yang mengiringinya tersebut menimbulkan ketidakpuasan. Protes massal pun terjadi dengan Aksi Bela Islam 411, 212, 313.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipimpin Dr. KH. Ma’ruf Amin pun telah mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan bahwa apa yang telah dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu telah termasuk tindakan menghina al-Qur’an dan menghina ulama ulama, penistaan agama. MUI sebagai wadah para ulama Indonesia merekomendasikan agar kasus ini segera ditindak tegas sesuai petaruran perundang-undangan yang berlaku.
Sikap MUI yang dipimpin oleh Rais Aam PBNU tersebut diamini oleh berbagai ormas Islam lainnya, termasuk NU dan Muhammadiyah. Namun ada pula yang berbeda pendapat dengan berlebihan dalam mendukung Ahok, sehingga rentan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Akan tetapi, ketika orang yang berkuasa itu menyeleweng dan sulit disentuh hukum, maka hanya Tuhanlah yang mampu mengubah semuanya. Hanya kekuasaan dan kekuatan dari Sang Maha Kuat yang mampu membolak-balikkan segala hal dengan mudah.
IMG-20170416-WA0004

Surat edaeran dari PP IASS ke PW IASS

Oleh karenanya, Pengurus Pusat Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS), dengan tegas mengambil sikap dengan mengistruksikan seluruh pengurus wilayah (PW) se-Indonesia, untuk melakukan gerak batin (Istighasah) demi untuk menjaga keutuhan dan kejayaan umat Islam, serta kekalahan sang terdakwa penista agama. Surat instruksi tersebut tertanggal 071/IASS.8oo/Int/VII.1438.
Sedang untuk tempat pelaksanaannya, dipasrahkan pada kebijakan masing-masing pengurus wilayah. Khusus untuk wilayah Pasuruan, gerak batin dilaksanakan di Gedung LAZ Sidogiri (sebelumnya disebutkan di Gedung  IASS), pada hari Selasa malam Rabu, 18 April 2017, setelah shalat Isya.
Redaksi: M. Albilaluddin al-Banjari
Editor: Biyadi Busyral Basyar

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan