santri

Oleh: Dwy Sadoellah

Tak ada yang lebih membingungkan kecuali pembicaraan mengenai santri. Ia seperti sajak-sajak Afrizal Malna, ambigu. Kecuali orang dianggap pintar apabila menyelipkan kajian tentangnya, tak ada sebuah konsep pun yang kira-kira mewakili keterlibatan santri dalam proses apapun—lebih-lebih proses perubahan. Alih-alih, santri terlampau lama menjadi contoh soal bagaimana feodalisme dilembagakan, diabadikan—barangkali—dalam kondisi di mana semangat kesejagadan digembor-gemborkan. Santri menjadi sampel apa yang disebut kepatuhan tanpa reserve. Strereotipe. Sungguh tak adil.

Santri, memang tidak masuk dalam kategori kekuatan apapun dalam proses reformasi. Jika Trotsky, juga Lenin, ‘berjibaku’ bersama para proletar dalam perjuangan revolusi bolshevik yang mencekam. Atau, para petani, yang betapa disanjung-sanjungnya oleh DN Aidit dan kawan-kawannya. Juga kaum marhaen—kaum miskin papa yang hanya memiliki sepetak ladang untuk menyambung hidup—yang bahkan memasyhurkan nama Bung Karno. Santri tidak menjadi salah satu elemen penting dari ‘kecenderungan’ di atas. Bukti tidak diperhitungkannya santri sebagai pilar perubahan, masih ditambah dengan keberhasilan ‘mahasiswa’ 66 melahirkan apa yang kelak disebut sebagai orde baru. Biarpun susah dihindari bahwa para mahasiswa itu sekedar alat dari strategi besar Amerika, tutur Manai Sophian.

Sekali lagi, santri tidak disebut-sebut. Tetapi sembilan belas tahun yang silam, sebuah revolusi digerakkan. Revolusi tersebut menjadi justifikasi bahwa agama—dalam silang sengkarutnya modernisme—bertindak sebagai ideologi. Revolusi tersebut terjadi di Iran, di negeri para mullah. Biarpun revolusi terjadi di tempat yang zaman dulu disebut Persi, gemanya masuk ke bilik-bilik pesantren. Tiba-tiba buku-buku Muthahhari, Syari’ati, Bagir Shadr, Nasr dan sederet penulis Iran menghiasi lemari buku perpustakaan pesantren. Poster Khomeini dipajang berdampingan dengan poster Iwan Fals atau Metallica di trotoar-trotoar jalan besar. Dan orang bicara keberanian Iran menentang Amerika di sela-sela perbincangan perempuan-perempuan berjilbab hitam. Ya! Revolusi itu menyebar ke mana-mana.

Dan para santri larut di dalamnya, seakan-akan ia terlibat. Tidak, revolusi tidak terjadi dalam sekejap. Revolusi Iran didahului oleh revolusi wacana. Ketika Bagdad jatuh di abad 13, Islam sebenarnya tidak ‘mati’. “Matahari boleh tenggelam di ufuk barat, tapi ia terang benderang di ufuk timur,” tulis Sir Muhammad Iqbal Lahore dalam sebuah sajaknya. Ketika kearifan filsafat Islam dianggap musnah, dengan meninggalnya Ibn Rusyd, filsafat dalam bentuk yang kurang lebih sama justru dipelajari di negeri Islam sebelah timur dengan sangat bergairah.

Maka tak usah berpikir tentang bolshevik, atau renaissance, karena kita tak punya bedil dan meriam. Para santri harus diberi peluang untuk membuat revolusinya sendiri. Sebuah revolusi wacana. Revolusi pemikiran. Lahap semua buku, diskusi dan menulislah. Sekali lagi bikin revolusi. Revolusi yang menjadikan diri mereka terbebas dari ketakutan absurd, dan ucapan selamat tinggal pada keterkungkungan feodalistik yang menjebak. Karena, seperti al-Ghazali, kita mesti memulai dengan keberanian untuk ‘menyalahkan’.

 

Dwy Sadoellah adalah penulis buku “Ah, Santri”, Pondok Pesantren Sidogiri.

 

 

 

 

Silakan tulis komentar Anda

Tinggalkan Balasan